TintaSiyasi.com -- Enam tahun lalu, tepatnya pada 21 Januari 2016, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sudah memasuki masa pembangunan. Ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Jokowi. Proyek KCJB termasuk salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan payung hukum Perpres Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Pada Rabu, 16 November 2022, KCJB sukses diujicobakan dengan meluncurkan kereta inspeksi, disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo serta Presiden China Xi Jinping secara virtual. Kereta inspeksi ini akan dioperasikan setiap hari sebelum jalur digunakan oleh kereta penumpang. Fungsi kereta inspeksi adalah untuk mendeteksi kondisi lintasan, kelistrikan, komunikasi, persinyalan, dan respons dinamis kereta.
Benarkah untuk Rakyat?
Kereta Cepat Jakarta Bandung ditengarai sebagai kereta cepat pertama di Asia Tenggara. Penyelesaian proyek KCJB pun ditunggu-tunggu. Namun semakin ditunggu dan diharapkan ternyata semakin lama. Proyek ini telah sangat molor dari target semula yaitu tahun 2019. Lalu ditargetkan lagi Juni 2023 akan mulai beroperasi.
Selain molor, proyek KCJB mengalami pembengkakan dana. Diungkapkan oleh Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo, proyek KCJB sedang dalam tahap kritikal setelah masuk periode penyelesaian. Jika tak dilanjutkan, jadi proyek mangkrak. Dilanjutkan, perlu dukungan dana yang lebih besar dari semua steakholder yang terlibat baik dari Indonesia maupun China.
Proyek ini dijalankan dengan skema business to business (B2B). Artinya, peran swasta sangat besar. Memang, sistem neoliberalisme memberikan kriteria good governance yaitu minimalisnya keterlibatan pemerintah dalam setiap pelayanan publik, termasuk transportasi. Dan sudah menjadi mindset swasta untuk meraup keuntungan di setiap proyek mereka.
Jadi, benarkah proyek KCJB ini untuk rakyat? Tentu tidak. Sebab meskipun molor dan bengkak, proyek tetap dilanjutkan demi keuntungan yang didapat saat kereta cepat beroperasi. Dan masyarakat juga tetap harus membayar untuk bisa menggunakan kereta cepat ini, sekitar Rp125.000,00 hingga Rp250.000,00 pada tiga tahun pertama. Katanya jauh di bawah harga keekonomian, yang aslinya Rp150.000,00 - Rp350.000,00.
Di tengah krisis ekonomi pasca pandemi dan melonjaknya harga komoditas, rakyat pasti memilih berhemat dalam segala hal. Bisa jadi akhirnya nasib KCJB ini seperti bandara internasional Yogyakarta yang dilepas ke investor asing karena rugi. Lalu, aset apa yang dimiliki pemerintah jika semua dijual ke asing? Bukankah sama saja menggadaikan kedaulatan negara? Beginilah potret penyediaan layanan publik di sistem kapitalisme, semua diukur dengan profit oriented, untung rugi. Bukan untuk melayani rakyat.
Transportasi dalam Sistem Islam
Berbeda dengan sistem Islam, orientasi pembangunan infrastruktur transportasi dalam sistem Islam adalah untuk pelayanan publik. Syekh Abdul Qadir Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah menjelaskan sarana transportasi umum termasuk jenis infrastruktur milik negara yang disebut marafiq ammah.
Marafiq ammah adalah seluruh sarana umum yang disediakan oleh negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Negara akan mengadakan sarana ini selama sarana tersebut bermanfaat dan bisa membantu masyarakat. Negara Khilafah sebagai penanggung jawab yang pertama dan utama dalam pembangunan transportasi.
Khilafah akan mengambil dana dari pos kepemilikan umum dan pos kepemilikan negara untuk membiayai pengadaan transportasi. Jika sistem kapitalisme hanya memiliki dua sumber pemasukan negara yaitu pajak dan utang, maka berbeda dengan negara Khilafah. Sumber pos kepemilikan negara Khilafah diantaranya adalah usyur, kharaj, fa'i, jizyah, dan lain-lain.
Adapun pos kepemilikan umum, bersumber dari pengelolaan SDA, hasil hutan, sungai dan laut oleh negara. Khilafah akan mengelolanya secara mandiri dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Haram bagi Khilafah menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta. Haram pula bagi Khilafah mengambil keuntungan dari pengelolaan SDA.
Hasil SDA yang sangat besar itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi langsung, misal listrik dan BBM gratis. Bisa juga digunakan untuk menjamin kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, memadai dan gratis. Bisa juga untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi. Sehingga seluruh rakyat bisa memanfaatkan transportasi yang aman, nyaman, mudah diakses dan gratis.
Pemenuhan sarana transportasi umum dengan prinsip melayani rakyat adalah cerminan dari akidah Islam yang menjadi asas negara Khilafah. Rasulullah Saw bersabda:
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Wallahu a'lam
Oleh: Mahrita
Julia HapsariAktivis Muslimah
0 Comments