TintaSiyasi.com -- Banjir yang terus berulang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia beberapa waktu ini termasuk di Aceh Tamiang yang merendam 12 kecamatan, dan ini adalah banjir terparah yang terjadi disebutkan oleh anggota DPR Aceh Asrizal Asnawi terjadi akibat perusakan lingkungan. "Banjir ini akibat perusakan lingkungan karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit besar-besaran, dan mengubah kembali semua itu menjadi hutan sudah tidak memungkinkan lagi" (detikSumut, 3/11/2022).
Sungguh miris! Maka jika kita melihat masalah banjir memang masih menjadi masalah di negeri ini. Pasalnya bukan baru sekali atau dua kali ini terjadi tapi sudah terus berulang-ulang bahkan hampir di seluruh wilayah di negeri ini. Hal ini terjadi karena persoalan banjir ini tanpa solusi konkret hingga terus berulang kali terjadi.
Pertanyaannya adalah mengapa banjir terus terjadi dan berulang setiap tahunnya? Jika kita perhatikan hal ini bukan karena faktor alam semata atau karena tidak berfungsinya drainase, resapan air atau kurangnya kanal. Tapi lebih dari itu, masalah yang tersistemis yang lahir dari diterapkannya sistem kapitalistiklah penyebabnya. Adanya alih fungsi lahan dan makin terdegradasinya luasan hutan serta adanya deforestasi menjadi faktor utama penyebab terjadinya bencana banjir ini.
Kapitalisme yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, memberi ruang seluas-luasnya bagi penguasa dan para kapitalis untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka tak heran saat profit oriented menjadi tujuan utama dari pemangku kebijakan, muncullah banyak aturan yang memberikan kemudahan dalam pembangunan industri, tempat wisata dan bisnis menggiurkan lainnya. Akhirnya penebangan hutan secara massif terus dilakukan untuk memperoleh bahan baku pembangunan tanpa memperhatikan rusaknya lingkungan sekitar.
Belum lagi maraknya pembangunan tidak diiringi dengan efek kelanjutannya pada lingkungan sekitar, mengakibatkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Akhirnya kemungkinan air terserap akan semakin kecil. Apalagi sebagian besar tanah sudah berganti menjadi aspal atau beton. Sungai yang semakin dangkal, maka sudah dipastikan dengan hujan sedikit saja banjir akan dengan mudahnya terjadi. Parahnya bukan hanya sekali atau dua kali, banjir bisa terjadi berulang kali. Inilah yang dihasilkan kapitalisme, Karena kapitalisme telah terbukti melahirkan banyak kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan para kapitalis. Bahkan nilai-nilai kapitalisme telah nyata mengabaikan ekologi alam dan hajat hidup manusia. Tak heran jika kerusakan dan bencana terus terjadi. Maka sudah seharusnya pemerintah secepat mungkin untuk mengevaluasi setiap pembangunan yang dilakukan termasuk pembangunan pariwisata, penggantian pohon yang tidak banyak meresap air, dan sebagainya.
Maka berbeda dengan kapitalis, Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga keseimbangan lingkungan. Ekonomi. Islam tidak tersentralisasi dan berorientasi pada pertumbuhan, melainkan berorientasi pada distribusi. Hal ini karena prinsip tata kota dalam Islam dikembangkan dengan memberikan daya dukung lingkungan, karena Islam melarang bersikap zalim baik terhadap sesama manusia, hewan dan tumbuhan.
Islam juga menetapkan tentang status kepemilikan harta di dunia, terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan umum, negara dan individu. Kepemilikan umum dan negara berupa sumber alam seperti ; tambang, mata air dan pengelolaan hutan tidak boleh dikuasai atau diserahkan pengelolaannya pada individu, baik lokal maupun asing atau diprivatisasi. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan umum (milik masyarakat) menjadi milik individu, apapun dalihnya termasuk membiarkan penebangan hutan secara liar apalagi sampai menggunduli hutan.
Maka untuk mengatasi masalah banjir secara tuntas, sudah semestinya kita mengembalikan segala sesuatu hanya kepada sistem Islam. Berharap pada kapitalisme-sekuler untuk merealisasikan program-program maslahat bagi rakyat adalah harapan semu. Karena sudut pandang yang digunakannya bukanlah riayah (mengurus) rakyat, tapi deal-deal politik dan kepentingan antara penguasa dan para kapitalis (pengusaha). Sehingga sangat jelas bahwa ada kepentingan capital dibalik banjir yang selalu berulang.
Satu-satunya harapan adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Karena dengan syariah kaffah masalah banjir akan mendapatkan solusinya. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Fitriani, S.Hi
Guru dan Aktivis Dakwah
0 Comments