TintaSiyasi.com -- Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika telah secara resmi menghentikan siaran televisi analog dan menggantinya dengan siaran digital, untuk wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) per Kamis dini hari pada 3 November 2022. Walau sempat diwarnai oleh beberapa stasiun televisi swasta yang dianggap “membandel” di hari pertama, analog switch-off Jabodetabek akhirnya benar-benar terlaksana penuh per Jumat, 4 November 2022.
Kebijakan yang tidak berlaku secara nasional ini dinilai standar ganda oleh Executive Chairman at MNC Group, Hary Tanoesoedibjo. Diperkirakan 60% masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati tayangan televisi secara analog di wilayah Jabodetabek, kecuali dengan membeli Set Top Box atau mengganti televisi digital atau berlangganan TV Parabola.
Sementara Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengklaim 98% masyarakat di Jabodetabek sudah siap beralih dan menggunakan TV digital. Ia juga mengatakan untuk masyarakat yang tidak siap dengan penghentian ini maka kementerian telah menyiapkan posko-posko bantuan.
Payung hukum yang kuat terkait peralihan TV analog ke TV digital baru muncul dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang diundangkan pada 2 November 2020. UU Ciptaker mengamanatkan penghentian siaran televisi analog paling lambat dilaksanakan dalam dua tahun setelah UU itu disahkan. Sungguh faktanya, UU Ciptaker memang tidak pernah berpihak kepada masyarakat, karena pada dasarnya UU ini diciptakan demi kepentingan oligarki semata.
TV analog memakan sumber daya yang besar pada pita frekuensi 700 MHz sebanyak 328 MHz, dan apabila TV analog beralih ke digital maka hanya dibutuhkan 176 MHz bagi stasiun televisi. Sehingga akan ada hasil deviden sebanyak 112MHz. Adanya hasil dividen digital ini dikabarkan akan digunakan untuk kepentingan lainnya seperti meningkatkan kualitas internet menjadi 4G dan 5G, akan menambah pula peluang berkembangnya ekonomi digital dan lainnya.
Perkembangan teknologi ini memang tidak bisa dihindari, termasuk dalam hal bidang telekomunikasi yang serba modern dan digital. Jika dulu hanya berkutat pada surat menyurat dengan teknologi modern, kini semua akses informasi dapat diperoleh dengan cepat dan lebih luas.
Adanya perkembangan internet, TV digital dan banyak lagi menjadi bukti fisik perkembangan tersebut. Namun sayangnya, perkembangan teknologi saat ini tidak dapat dijangkau dan dinikmati oleh seluruh masyarakat. Seperti transformasi TV digital contohnya, tidak semua masyarakat siap dengan perubahan ini.
Untuk migrasi dari TV analog ke TV digital sebagian masyarakat menengah ke bawah akhirnya terpaksa membeli Set Top Box, alat konversi siaran TV Digital. Tentunya, hal ini akan merogoh kocek mereka makin dalam hanya demi menonton televisi. Apalagi saat ini hampir seluruh sektor kebutuhan publik, termasuk telekomunikasi juga menjadi bahan komersial. Layanan telekomunikasi tidak murni disediakan oleh pemerintah, tetapi ada juga kendali dari swasta.
Adanya efisiensi frekuensi jelas akan menguntungkan korporasi telekomunikasi. Migrasi ini juga dapat menguntungkan dari sisi pengembangan telekomunikasi dari 4G ke 5G, meski hanya terbatas di daerah tertentu saja. Sebab, sisa pita frekuensi tadi dapat digunakan oleh industri telekomunikasi. Makin tampak bagaimana gurita oligarki di sistem demokrasi menggerogoti segala sektor.
Alhasil, di balik gemerlapnya kecanggihan teknologi digital, akan tetap ada masyarakat yang tidak melek teknologi dan tetap berkutat dengan hidup teknologi manual. Di sisi lain, beban hidup mereka akan makin bertambah hanya untuk mendapatkan layanan tersebut.
Inilah atmosfer yang didapatkan dari kehidupan dalam kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang memiliki modal besar, dan mayoritas dari mereka adalah swasta. Sebab, bagi para kapitalis, teknologi adalah komoditas ekonomi.
Orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati teknologi. Akibatnya, lambat laun manusia malah dianggap tidak berfungsi hanyak karena mereka gagap akan teknologi. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam dalam memandang urusan teknologi.
Teknologi adalah instrumen pendukung dalam kehidupan. Sehingga makin luasnya teknologi, semestinya berbanding lurus dengan penyediaan lapangan kerja dan pengelolaan kehidupan yang membaik. Kondisi baik demikianlah yang akan diciptakan dalam sistem Islam. Sebab, dalam Islam keberadaan pemimpin adalah pelayan dan pengurus bagi warga negaranya.
Dalam naungan Islam, kebutuhan telekomunikasi merupakan salah satu jenis infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga baik di pedesaan maupun di perkotaan. Ma’rafiq ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Maka perkembangan TV analog ke digital dan efisiensi pengguna frekuensi semata-mata akan dikembangkan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Pengembangan ini pun akan dibiayai oleh negara yang dananya berasal dari Baitul Mal pos kepemilikan negara.
Tanggung jawab penuh dari negara dalam menyediakan layanan telekomunikasi akan membuat masyarakat siap dengan berbagai transformasi teknologi. Apalagi telekomunikasi sebagai salah satu perangkat media akan menjadi perhatian. Maka efesiensi frekuensi yang disinyalir mempercepat perkembangan internet akan digunakan untuk kepentingan media. Sebab, media dalam sistem Islam memiliki peran strategis dalam melayani ideologi Islam.
Jika di luar negeri, media Islam berfungsi untuk penyebaran ideologi Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukan bagaimana keagungan Islam, sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Sehingga akan makin tampak bagaimana indahnya hidup di bawah naungan Islam di kancah politik internasional.
Sementara, jika di dalam negeri, media sebagai sarana untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh yakni mengedukasi umat dengan tsaqafah Islam, berita keseharian, ilmu sains, dan teknologi maupun informasi politik dalam dan luar negeri.
Alhasil, hanya dalam naungan Islam, rakyat terlayani dan terurus dengan baik. Rakyat melek teknologi dan mampu memanfaatkannya semata-mata untuk kemajuan Islam dan umatnya. Bukan semata-mata untuk mengeruk materi seperti yang dilakukan oleh oligarki.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Aktivis Muslimah
0 Comments