Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sistem Peradilan ala Demokrasi Tak Mungkin Bebaskan Negeri dari Korupsi


TintaSiyasi.com -- Persoalan korupsi di negeri ini seperti makhluk hidup yang berkembang biak alias makin bertambah banyak. Bahkan orang yang dipercaya dapat menegakkan keadilan pun terjerat kasus korupsi. 

Pada Selasa, 04 Oktober 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tersangka kedelapan dalam kasus suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati. Tersangka itu adalah Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (Tempo.com, 4/10/2022).

Menanggapai persoalan korupsi tersebut, menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud M.D. mengatakan pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan reformasi hukum peradilan pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati (Kompas.com, 4/10/2022).

Sejatinya persoalan korupsi tidak bisa terselesaikan hanya dengan membentuk sistem peradilan dan melakukan reformasi hukum peradilan. Sebab akar dari persoalan ini adalah diterapkan sistem demokrasi yang merupakan bagian dari kapitalisme. Sistem ini telah melahirkan para pejabat yang gemar korupsi, bahkan secara berjamaah. Mirisnya lagi, sistem ini juga membuat lembaga peradilan dan penegak hukum melakukan tindakan keji tersebut. Hal tersebut terjadi karena kapitalisme berasaskan sekuler, memisahkan agama dari kehidupan, tidak lagi menjadikan halal haram sebagi landasan dalam berbuat. Keuntungan materi menjadi dasar beraktivitas. Bukan rahasia lagi, jabatan dan kedudukan saat ini bisa diraih dengan mudah bagi mereka yang memiliki dana berlimpah. Alhasil, lembaga apa pun jika masih berada di bawah naungan sistem demokrasi kapitalisme tidak akan pernah mampu menegakkan keadilan secara masif. Begitu pun kesempatan berkorupsi kemungkinan akan terus ada. Ditambah lagi adanya politik transaksional membuat reformasi hukum tak akan mampu menegakkan supremasi hukum. 

Islam dengan aturannya yang paripurna dari Sang Maha Pencipta telah memberi solusi agar keadilan bisa ditegakkan di muka bumi. Dalam pandangan Islam, kunci keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi ada dua:
Pertama, sistem hukum/pemerintahan yang anti korupsi.
Kedua, pejabat dan aparatur pelaksana serta penegak hukum yang jujur, bersih, amanah, tegas, dan konsisten. 

Secara praktis, pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan mekanisme berikut:

Pertama, penanaman ketakwaan individu, para pejabat, pegawai, dan semua rakyat. Dengan modal ketakwaan ini, peluang terjadinya tindakan keji termasuk korupsi bisa diminimalisasi.

Kedua, kontrol masyarakat. Masyarakat yang senantiasa mengawasi dan beramar makruf nahi mungkar dengan siapa pun yang ada di sekitarnya agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah dan merugikan orang lain.

Ketiga, sistem penggajian dan kompensasi yang layak kepada para pejabat dan pegawai sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk berlaku korup. 

Keempat, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (haram) yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai, serta penerapan pembuktian terbalik.

Kelima, hukuman yang bisa memberikan efek jera. Sehingga pelaku maupun orang lain tidak berani mengulangi lagi perbuatan tersebut. Hukuman ini dalam bentuk sanksi takzir, sesuai tingkat dan dampak korupsinya. Takzir bisa berupa denda, tasyhir (pewartaan/ekspos), diasingkan, dipenjara bahkan bisa sampai hukuman mati. Sanksi penyitaan harta ghulul bisa juga ditambah dengan denda. Saat ini gabungan keduanya dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.

Implementasi semua itu dilakukan oleh sosok pemimpin yang tegas dan konsisten. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra, ketika beliau menajabat sebagi kepala negara. Ketika Umar ra mendapati kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tersebut. Jika penjelasannya kurang memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau terapkan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).

Keenam, penerapan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh) di tengah-tengah umat. Karena hanya dengan penerapan Islam kaffah, segala hal bisa terlaksana dengan sempurna. Termasuk penegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi hanya bisa terwujud di bawah naungan sistem Islam kaffah dengan aturannya yang paripurna dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. 

Wallahu a'lam. []


Oleh: Nur Itsnaini Maulidia 
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments