TintaSiyasi.com -- Sungguh ironis di saat pemerintah gencar menyuarakan pembangunan berwawasan lingkungan dan ide energi bersih untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi faktanya bencana banjir terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan peristiwa banjir merupakan bencana yang bersifat rutinitas namun sampai saat ini belum ada solusi tuntas untuk menyelesaikannya.
Banjir yang melanda sebagian wilayah Aceh Utara sejak Selasa (4/10) terus meluas. Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari mengatakan hingga Kamis sore sebanyak 18.160 warga terpaksa mengungsi (katadata.co.id, 6/10/2022).
Banjir di tahun ini melanda hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk ibukota negara yaitu Jakarta. Setidaknya, ada dua potensi bencana yang kerap terjadi saat musim hujan, yaitu banjir dan tanah longsor. Indonesia memang termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan informasi peringatan dini cuaca ekstrem terhitung mulai tanggal 9 sampai 15 Oktober 2022. Menurut BMKG, sepekan ke depan wilayah Indonesia akan berpotensi mengalami gejala fenomena alam seperti gelombang tinggi, angin kencang, angin putih beliung, hujan deras, dan dapat disertai petir ( liputan6.com, 08/10/2022).
Menyoroti hal tersebut tentunya butuh mitigasi dalam rangka mengantisipasi dampak banjir dan longsor. Hanya saja, yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah progres mitigasi yang selama ini berlangsung, pengawasan dan kewaspadaan harus terus dilakukan.
Penyebab banjir tidak semata karena faktor alam. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi dengan baik.
Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram.
Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai, volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.
Dalam aturan Islam mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.
Islam telah menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang.
Sudah saatnya alam dikelola sesuai aturan Allah, sebab jika kesewenang-wenangan manusia dibiarkan yang terjadi adalah kerusakan sebagaimana firman Allah SWT :
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS.Ar-Rum: 41).
Sungguh umat Islam hari ini harus segera bertobat kepada Allah SWT. Kedurhakaan mereka sudah sedemikian parah hingga Allah SWT tidak henti menurunkan bencana sebagai peringatan dalam berbagai bentuknya. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ana Dia Friska
Aktivis Muslimah
0 Comments