Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme dan Problem Upah yang ‘Abadi’


TintaSiyasi.com -- “Apakah menaikkan upah minimum adalah ide yang bagus?” Kalimat tanya ini hanya memiliki dua kemungkinan jawaban, “yes or no”. Namun, alasannya tentu sangat beragam. Sejak seabad kepemimpinan ekonomi kapitalisme di dunia, hampir tidak ada tetesan kesejahteraan bagi rata-rata kaum buruh di negeri ini, bahkan di sebagian besar negara di dunia, termasuk kampium kapitalisme sendiri, Amerika. Kalaupun ada, itu adalah peningkatan pendapatan dan kekayaan yang terkonsentrasi pada sekitar 10-20% penduduk terkaya. Sementara itu, sisanya adalah angka kemiskinan yang dominan dengan tren yang makin memburuk. Halaman media tak pernah absen dari berita demo buruh yang menuntut kelayakan upah. 

Kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk kegagalan fantastis era perdagangan bebas yang digagas kapitalisme. Perluasan perdagangan tidak selalu berarti lebih banyak lapangan pekerjaan dan gaji yang lebih baik. Ironisnya, IMF dan Bank Dunia justru mewajibkan penggunaan fleksibilitas dalam undang-undang ketenagakerjaan untuk lebih banyak mengurangi dan merampingkan pekerjaan ketimbang memperbesar kemampuan produktif maupun menciptakan lapangan kerja. Di Indonesia,’titah’ IMF dan Bank Dunia tersebut sebagiannya terangkum dalam UU Ciptakerja yang sejak diwacanakan mengundang kontroversial dan ditentang banyak kalangan termasuk kaum buruh.

Mentalitas privatisasi kekayaan dan aset oleh segelintir elite yang legal dalam kapitalisme adalah penyebab krisis ekonomi yang mula-mula melanda Eropa, lalu Amerika, dan kini menular ke Asia dan ke seluruh belahan dunia. Kini kita harus berhadapan dengan realitas bahwa ekonomi tidak dapat menjalankan fungsinya di bawah regulasi yang ditentukan oleh mekanisme pasar bebas. Ekonomi dunia membutuhkan alasan yang etis untuk dapat bekerja bagi umat manusia, termasuk para buruh. Sehingga buruh berada pada garis edar kegiatan ekonomi riil, di mana ekonomi riil ini tidak dapat diukur hanya dari hitungan matematis suplai dan demand serta profit maksimal dari sisi perusahaan semata, namun berdasarkan kesejahteraan bersama.

Kegiatan perekonomian kita telah dicemari oleh nafsu kekuasaan, sifat tamak untuk mendapat keuntungan sehingga membuka lebar gap antara miskin dan kaya. Badan Pusat Statistik merilis data pada September 2021, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.187.756,-/rumah tangga miskin/bulan. Hitungan ini berdasarkan rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,50 orang anggota rumah tangga. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, rata-rata upah buruh di Indonesia sebesar Rp2.89 juta pada Februari 2022. Meskipun berada sedikit di atas garis kemiskinan, tetapi angka ini sangat mengerikan terlebih di tengah beragam kenaikan harga bahan pangan, BBM, dan tarif listrik yang terjadi berbarengan.

Pada akhirnya, wajar jika demo buruh selalu mempersoalkan kenaikan upah seperti yang terjadi baru-baru ini. Ribuan buruh menggelar aksi demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Dalam aksinya, mereka menyampaikan sejumlah tuntutan, salah satunya menuntut kenaikan upah minimum 2023 hingga 13 persen. Dalam pernyataannya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengungkapkan kenaikan harga BBM, harus diiringi dengan kenaikan upah minimum para pekerja. Menurut Litbang, ia memprediksi inflasi 6,5 persen setelah kenaikan BBM, pertumbuhan ekonomi 4,9 persen, jadi total 11,5 persen. Karenanya, upah buruh harusnya naik 13%. Ditambah lagi, sudah tiga tahun upah buruh tidak pernah naik karena omnibus law.

Masalah perburuhan seolah menjadi problem abadi dalam kapitalisme. Ibarat penyakit, ia siap kambuh kapan saja tergantung pada faktor pemicunya. Sementara negara tidak pernah mampu menyembuhkan kecuali sekadar meredakan rasa sakit sementara waktu saja. Ini adalah akibat kesalahan diagnosa yang fatal akibat cara pandang kapitalisme sekuler tentang konsep perburuhan. Standar yang dipakai dalam menentukan besaran gaji buruh adalah living cost terendah. Sehingga sampai kapan pun, buruh tidak akan pernah ‘menikmati’ hasil keringat mereka kecuali untuk menyambung hidup sehari-hari, khususnya memenuhi kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Dalam mindset kapitalisme, semua kebutuhan primer itu harus diupayakan oleh individu. Negara hanya sebagai regulator, bukan pelaksana dan penanggung jawab kebutuhan pokok rakyat. 


Islam Menawarkan Solusi

Tugas negara dalam Islam adalah menjamin lapangan kerja bagi setiap warga negara. Kedudukan para pekerja atau pegawai, baik yang bekerja pada individu mapun maupun perusahaan adalah sama seperti pegawai pemerintah. Hal ini ditinjau dari sisi hak dan kewajiban sebagai pekerja. Setiap pekerja mendapatkan upah yang ditentukan berdasarkan manfaat atau hasil pekerjaannya, bukan berdasarkan pengalamannya atau ijazahnya. Mereka mendapatkan upah yang menjadi haknya secara utuh, tanpa aneka potongan sedikitpun. 

Pihak yang menentukan upah dalam Islam adalah semata-mata mereka yang terkategori ahli dalam menangani upah pekerja. Karenanya, Islam tidak mengenal istilah UMP maupun UMR. Yang menjadi pijakan dalam menentukan upah adalah jasa, baik jasa kerja ataupun jasa pekerja di tengah-tengah suatu masyarakat. Nilai jasa inilah yang akan mereka jadikan dasar dalam memperkirakan upah, bukan living cost terendah.

Ahli ini hendaknya dipilih oleh kedua belah pihak (pekerja dan majikan). Namun, jika terjadi perselisihan mengenai besarnya upah, negara akan menjadi penengah dan ‘memaksa’ kedua belah pihak untuk mengikuti pendapat ahli tersebut. 

Sebagai penanggung jawab atas kemaslahatan rakyat, negara memastikan setiap individu laki-laki dewasa yang mampu agar bekerja sebagai wujud pelaksanaan kewajiban memenuhi nafkah. Negara menyediakan lapangan kerja dan memastikan kehalalan jenis pekerjaan serta akad kerja yang syari. Upaya serius negara Islam dalam mengurus urusan rakyatnya tercatat dalam tinta emas sejarah khilafah. Bukan hanya soal perburuhan, tetapi dalam berbagai aspek kehidupannya. 

Konsep Islam inilah yang perlu terus disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat di tengah jumudnya kehidupan kapitalistik seperti sekarang. Bahwa hanya dengan Islam, kemuliaan hidup dan kerahmatan bisa diwujudkan. 

Wallahu a’lam. []


Oleh: Pipit Agustin
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments