Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demokrasi Habitat Korupsi yang Kian Meninggi

TintaSiyasi.com -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan hakim agung yang terseret operasi tangkap tangan (OTT) KPK bisa jadi lebih dari satu orang. “Ada hakim agung yang katanya terlibat kalau enggak salah dua, itu harus diusut, dan hukumannya harus berat juga,” ujar Mahfud di Malang, Jawa Timur, dikutip siaran Kompas TV pada Sabtu (24/9/2022). Sebagai informasi, KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu (21/9/2022) malam dan berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. 

Lima di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang hakim agung, Sudrajad Dimyati. Sudrajad kini ditahan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara. Tak hanya ditahan KPK, Sudrajad Dimyati diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung. Ungkapan Mahfud senada dengan penilaian Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini "sudah menjadi rahasia umum". 

"Jika mau diselami lebih dalam, kita akan melihat jumlah kasus yang lebih besar," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022). " Menurut saya, apa yang terjadi dengan kasus penangkapan OTT hakim dan pegawai Mahkamah Agung beserta para lawyer (yang memberi suap) ini sebenarnya adalah fenomena gunung es," imbuh dia. Feri mengungkapkan, bahkan jika investigasi atas mafia peradilan ini dilakukan lebih jauh, tak tertutup kemungkinan bakal terdapat "fakta-fakta yang lebih menakutkan" ketimbang yang terjadi dalam OTT KPK Rabu malam. 

Fakta-fakta yang lebih menakutkan itu, menurut dia, adalah permainan perkara di peradilan. "Coba saja dibuka pengaduan publik perkaranya di pengadilan. Berapa banyak yang diminta suap," kata Feri. Mahfud menambahkan bahwa hakim agung terjaring OTT KPK harus dihukum berat karena mereka seyogianya menjadi "benteng keadilan". Oleh karena itu, ia mewanti-wanti jangan sampai ada yang menutupi kasus ini. 
Menyoal peristiwa ini, cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai korupsi hari ini makin menjadi-jadi. “Bayangkan, Mahkamah Agung itu peradilan paling tinggi di Indonesia, tempat orang berharap keadilan yang final. Bagaimana bisa seorang hakim agung disuap sedemikian rupa?” tanyanya lugas dikutip dari kanal Pusat Kajian dan Analisis Data, Jumat (23/09/2022).

Jadi, imbuhnya, ini luar biasa. “Kalau ujung pengadilan bisa ditembus dengan sejumlah uang, kita bisa menduga seperti apa roman muka dari hukum di negeri ini. Jadi, kemana rakyat bisa berharap keadilan?” tanyanya lagi. UIY menyatakan, belum lagi aparat hukumnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Ferdi Sambo yang sedemikian rusaknya. “Dengan koleganya sendiri bisa berbuat seperti itu, apalagi dengan orang di luar koleganya,” tukasnya.
Ia memandang, rakyat menjadi pihak yang dirugikan karena rakyat adalah objek hukum. “Hukum diterapkan kepadanya dan darinya rakyat berharap keadilan,” ucapnya. Kemudian menurutnya, jika keadilan itu identik dengan kebenaran dalam arti dengan keadilan itu kebenaran bisa terwujud, maka kita bisa mengatakan bahwa ketidakadilan yang terwujud itu berasal dari ketidakbenaran atau kebatilan.

Sudah jamak diketahui orang, demokrasi ternyata telah berhasil melahirkan ratusan tikus berdasi. Bukan hanya itu, kelompok yang mengklaim dirinya sebagai kelompok paling demokratis ternyata sebagai penyumbang nomor wahid pelaku korupsi, bahkan beberapa di antaranya masih buron. Aturan demokrasi telah berhasil mendirikan lembaga antirasuah dengan segudang pasal. Namun, nyatanya hukuman tersebut tidak memberikan efek jera. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa ada celah dalam tata aturan demokrasi.
Publik merasakan dampak yang berbahaya dari korupsi. Pertama, berdampak pada tingkat kesejahteraan rakyat. Karena korupsi, rakyat tidak mendapatkan haknya. Akhirnya jurang pemisah antara kaya dan miskin makin lebar. Kedua, peradaban masyarakat menjadi rusak.

Masyarakat tumbuh dan berkembang di lingkungan pemerintahan yang buruk karena korup dan kotor. Ketiga, meruntuhkan harga diri dan citra negara di mata internasional. Karena nilai indeks persepsi korupsi (IPK) makin rendah, mengakibatkan rendah pula tingkat kepercayaan suatu bangsa di hadapan negara lainnya.
Oleh karena itu, bisa diartikan korupsi itu terjadi karena ada niat dan kesempatan. Niat berasal dari individunya, sedangkan kesempatan diperoleh dari sistem yang memberikan celah. 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam, tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh pemahamannya, sedangkan pemahaman tergantung dari pemikirannya. Jadi, pemikiran seorang koruptor adalah yang menjadi cikal bakal ia melakukan tindakan terlarang itu. 
Paling tidak, ada tiga penyebab. Pertama, dalam sistem kapitalisme, kesempatan korupsi memang terbuka luas. Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada justru indikasi mempermudah timbulnya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa. Kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi hukum yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan, menjadi pintu masuk untuk melakukan korupsi.

 Kedua, korupsi sudah membudaya. Kerusakan sistem politik dan pemerintahan yang ada dalam sistem kapitalismelah yang mengakibatkan korupsi membudaya. Kerusakan sistem telah memberikan banyak peluang kepada aparatur pemerintah maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal membuka lebar pintu korupsi dengan nominal besar yang merugikan negara. Adanya mahar politik adalah satu keniscayaan dalam demokrasi. 

Adapun alasan ketiga adalah lemahnya integritas individu. Kesalahan orientasi hidup menjadikan dunia sebagai tujuan, maka hidupnya penuh dengan upaya meraih keuntungan dunia sebesar-besarnya. Lahirlah sosok pribadi yang tamak dan serakah, mencari jalan untuk memenuhi ambisinya, meski dengan cara yang haram.
 Inilah buah dari sistem kapitalisme sekularisme.
 
Aturan Allah diabaikan karena menjadikan akal manusia sebagai penentu. Disisi lain, kebebasan yang sangat dijunjung tinggi oleh kapitalisme menjadikan manusia melanggar keharaman demi tercapainya tujuan. Korupsi menjadi salah satu cara untuk memperkaya diri sendiri melalui jabatan yang disandangnya. Inilah salah satu bencana besar yang ditimbulkan kapitalisme sekularisme.

Realitas hukum sekuler ini mengingatkan kita pada realitas hukum jahiliah. Sebelum Islam datang, jika ada rakyat kecil yang mencuri akan mendapatkan hukuman yang berat. Sementara, ketika para pembesar yang mencuri akan dimaafkan. Rasulullah Saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, mereka pun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya.” (HR. Muslim)

Saat ini pun demikian adanya. Jika rakyat kecil yang mencuri ayam atau makanan untuk bertahan hidup, sanksi berat mereka dapatkan. Sementara, jika pejabat yang mencuri uang negara, mereka justru mendapatkan keringanan. Kondisi ini akan bisa berujung pada kehancuran negeri sebagaimana sabda Rasulullah saw. tersebut.

Tentu berbeda jika penentuan kejahatan korupsi berdasarkan halal/haram dalam sistem Islam. 
Berdasarkan syariat Islam, korupsi adalah haram, meski sedikit ataupun banyak. Korupsi dengan nominal berapapun akan mendapatkan sanksi yang tegas. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam menetapkan korupsi sebagai salah satu bentuk kemaksiatan yang mengantarkan pada dosa. Oleh karena itu, Islam memiliki mekanisme untuk mencegah terjadinya korupsi, juga mekanisme hukuman yang tegas dan membuat jera. Semua ini demi menjaga umat dari perilaku jahat tindak korupsi, sekaligus menjaga harta umat. Sistem pencegahan korupsi dalam Islam terbangun dalam sebuah sistem yang sangat sederhana, tetapi efektif. Salah satunya, sebagaimana diistilahkan dalam wacana hukum sekarang, adalah dengan sistem pembuktian terbalik.

Beberapa langkah yang dilakukan Khilafah dalam mencegah dan menindak tegas koruptor. Pertama, saat mengangkat pejabat negara. Khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Hal itu akan membantu mereka memiliki self control yang kuat. Pejabat negara juga tidak dibolehkan menerima hadiah dan suap.

Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). 

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).

Kedua, Khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka negara bisa mengambilnya. Ketiga, Khilafah menetapkan hukuman yang tegas dan keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Keempat, pengawasan dari masyarakat. Masyarakat akan turut mengawasi jalannya pemerintah dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Seperti yang dicontohkan Khalifah Umar pada awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskanlah aku walau pun dengan pedang.”
Selain mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam, dibutuhkan pula keteladanan dari pemimpin negeri untuk mencegah terjadinya korupsi. Siapa pun yang memiliki hati ikhlas dan akal waras pasti mengharapkan sikap tegas untuk para koruptor. Jangan ada lagi kesempatan bagi koruptor bisa bebas dari hukumannya dan bangga bisa mencalonkan diri kembali sebagai pejabat negara. 

Ketika ada individu yang tetap curang, akan ada aturan yang tegas. Hukuman dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa di dunia (jika insaf), sekaligus membuat orang lain berpikir ulang kalau ingin berbuat hal yang sama. Dari sini, Islam menutup celah sekecil mungkin bagi orang yang ingin korupsi.  Untuk menutup celah korupsi, Islam juga memberlakukan sistem penggajian yang memungkinkan untuk hidup layak, sehingga tidak muncul rasa kurang dan berhasrat untuk korupsi. 

Bagi pelaku korupsi, Islam memberlakukan hukuman takzir berupa tasyhir atau pewartaan (bisa ditayangkan di media), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan bisa berupa hukuman mati. Yang tak kalah penting adalah teladan para pemimpin yang zuhud dan qona’ah terhadap harta. Demikian pula masyarakat yang cerdas dan peduli akan terjaganya hukum Islam, menjadi pengawas demi hilangnya tindak korupsi. Mekanisme penjagaan paripurna tersebut hanya ada dalam sistem kehidupan Khilafah Islamiah. Janji pemberantasan korupsi akan mudah diwujudkan karena kuatnya keimanan individu dan masyarakat. Tegasnya negara dalam menerapkan sanksi hukum juga memberikan efek jera pada koruptor dan mampu menegakkan keadilan.

Kondisi ini jelas tidak ada dalam si stem kapitalisme. Kapitalisme hanya memberikan janji, sebaliknya Khilafah memberikan bukti. Korupsi akan hilang dan keadilan akan tegak kembali dikembalikan lagi ke masyarakat dalam berbagai bentuk.


Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments