Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ada Apa di Balik Debt Swap?


TintaSiyasi.com -- Empat negara maju yaitu Amerika Serikat, Australia, Jerman dan Italia memutuskan akan menghapus utang Indonesia. Penghapusan utang tersebut menggunakan skema debt swap atau konversi. Beberapa kalangan menyatakan ini adalah sebuah keuntungan besar, bak durian runtuh bagi Indonesia. Lantas, benarkah penghapusan utang dengan metode debt swap membawa untung? Ataukah malah sebaliknya?

Diberitakan total utang Indonesia yang dihapus keempat negara tersebut mencapai USD334,94 juta atau setara lima triliun rupiah dan per September 2022 pemerintah telah merealisasikan proyek tersebut sebesar USD290,51 juta atau setara Rp4,9 triliun. Yustinus Prastowo selaku Staf Khusus Menteri Keuangan mengatakan bahwa, total kumulatif nilai perjanjian dept swap yang disepakati dengan keempat negara tersebut adalah lima triliun rupiah. Di mana konversi utang yang disepakati yaitu dalam bentuk proyek. Jerman dalam bidang kesehatan, pendidikan, global fund dan edukasi. Amerika Serikat dalam bidang tropical forest. Australia dalam bidang kesehatan dan Italia dalam bidang perumahan dan pemukiman (housing and settlement). Dan dalam proyek-proyek tersebut pemerintah Indonesia ikut berkontribusi sebesar Rp3,3 triliun. Selain itu Prastowo juga berpendapat bahwa penghapusan utang dengan skema debt swap tentu akan menimbulkan konsekuensi, namun konsekuensi yang mengarah pada kebaikan. Hal ini sejalan dengan pendapat PBB bahwa, daripada uang tersebut digunakan untuk membayar utang lebih baik uang tersebut dipakai untuk berinvestasi dalam berbagai proyek (cnnindonesia.com, 18/10/2022).


Seputar Debt Swap

Secara umum debt swap atau konversi adalah suatu cara penghapusan atau pembayaran kewajiban utang uang, diganti atau dibayar dengan metode lain, misalnya diganti berupa pelaksanaan proyek atau dalam bentuk investasi.

Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keempat negara tersebut bersepakat menghapus utang negara Indonesia dan menggantinya dengan mekanisme debt swap, dengan menjalankan berbagai proyek diberbagai bidang baik itu dalam kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya.


Kabar Baik dan Menarik?

Bagi mereka yang berpikir materialistis dihapusnya utang Indonesia dan diganti dengan mekanisme debt swap, bak mendapatkan durian runtuh, bagaikan angin sejuk yang membawa kabar baik dan menarik. 

Namun, benarkah demikian? Jika menelisik pada pengertian debt swap, yaitu mengganti atau membayar kewajiban utang uang dengan mekanisme lain, baik itu dengan melakukan kerjasama dalam bentuk proyek atau investasi. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, mekanisme ini tidak sepenuhnya menghapus utang-utang Indonesia. 

Ya, bagaimana mungkin mereka yang berideologi kapitalisme yang memiliki mindset ekonomi mengeluarkan modal sekecil-kecilnya demi keuntungan yang sebesar-besarnya bisa mengratiskan atau menghapus utang-utang Indonesia dengan semudah itu, jika tanpa ada maksud dan tujuan. Selain itu, masih sangat jelas diingatan masyarakat Indonesia pernah melakukan aksi kumpul koin pada 2015, demi mengembalikan bantuan sosial dari Australia untuk Indonesia pada 2004 silam, akibat bencana alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh ketika itu. Bayangkan saja bantuan sosial yang seharusnya diberikan dengan ikhlas masih dapat diungkit-ungkit oleh pihak Australia, hanya karena dua warga negaranya terpidana mati atas kasus penyelundupan narkoba yang mencapai 390 kg. Bantuan yang diberikan Australia memang terbilang besar yaitu mencapai Rp13 triliun, itulah mengapa Perdana Menteri Australia meminta Indonesia agar membalas budi dengan membebaskan kedua warga negaranya. 

Ya, seperti itulah pemikiran kapitalis bantuan sosial saja masih dapat mereka ungkit seolah-olah ingin membeli hukum di negeri ini dengan bantuan sosial, apatah lagi perkara utang tidak akan mungkin dihapus secara percuma begitu saja.

Fakta lainnya, program debt swap ini pun pernah dilakukan Amerika Serikat pada 2011. Amerika Serikat juga memilih proyek tropical forest untuk kelestarian hutan Indonesia. Lalu apakah yang didapatkan Indonesia? Ya, program ini tidak menjamin kelestarian hutan, yang ada deforestasi atau hilangnya luas hutan makin besar. 

Dilansir oleh idntimes.com (2021), luas hutan Indonesia pada 2021 berkurang mencapai 29 juta hektare, akibatnya Indonesia makin darurat bencana banjir dan longsor. Buktinya, pada November 2021 menjadi banjir terparah sepanjang sejarah di Kalimantan. Hampir seluruh wilayah Kalimantan dikepung banjir berhari-hari lamanya. Warga setempat berpendapat banjir tersebut terjadi bukan hanya karena faktor tingginya intensitas hujan namun, juga dipengaruhi deforestasi atau pengalihan fungsi hutan dan krisis iklim. Apakah ini yang dimaksud dengan membawa kebaikan? Konsekuensi yang membawa keuntungan? Jika pada kenyataannya semakin banyak hutan Indonesia yang menghilang.

Selain itu, bagi mereka yang berpendapat debt swap ini adalah sebagai sebuah keuntungan besar, tentu mereka akan merasa bangga dan bahagia, karena mereka berpikir tanpa mengeluarkan anggaran besar proyek-proyek besar akan dilaksanakan di Indonesia. Misalnya dalam bidang kesehatan, mungkin saja ke depannya peralatan-peralatan medis di Indonesia akan makin lengkap, mendatangkan dokter-dokter ahli pada bidangnya. Namun, apakah pemerintah bisa menjamin kesehatan masyarakat dalam negeri akan terjamin dengan biaya yang murah atau mungkin gratis? Sepertinya tidak, kembali lagi pada prinsip ekonomi kapitalisme, tidak akan ada yang gratis.

Dalam bidang pendidikan dan edukasi, apakah pemerintah mampu menyetarakan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia? Tak ada sekat pembatas antara sekolah swasta maupun negeri? Semua sekolah maupun universitas akan mendapatkan kualitas pembelajaran yang sama tanpa harus membayar mahal dan bila perlu gratis. Namun pada faktanya, sampai hari ini masih banyak anak-anak yang tidak merasakan bangku pendidikan, hanya sekolah-sekolah tertentu yang memiliki kualitas pendidikan yang maju dan lengkap, semakin maju sekolah tersebut maka semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi sekolah-sekolah yang kurikulumnya berkiblat pada kurikulum Barat. Akankah pemerintah bisa menjamin edukasi Barat mampu menyelamatkan generasi penerus bangsa? Atau malah sebaliknya, generasi penerus menjadi korban dan ikut menerapkan pemikiran materialistis yang hanya mengejar urusan materi dunia. Untuk urusan agama pun tidak dijadikan penentu dalam mengambil keputusan. Agama hanyalah sebagai status dan dikerjakan hanya dalam ranah individu bukan untuk politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.


Kembali Terjajah

Bayangkan bagaimana banyaknya keuntungan yang akan didapatkan keempat negara tersebut jika proyek-proyek mereka berhasil dijalankan. Sampai kapan Indonesia akan kembali terjajah? Tidakkah mereka melihat pada kasus PT Freeport? Bertahun-tahun lamanya perusahaan tersebut dikuasai oleh pihak Barat. Walaupun saat ini saham terbesar PT Freeport dipegang oleh Indonesia tetapi, tetap saja masih ada campur tangan Barat di dalamnya. Dan apakah yang didapatkan Indonesia selama ini dari perusahaan tersebut? Hanya sebagian kecil keuntungan yang diberikan bagi Indonesia. Lihatlah bagaimana kondisi masyarakat dan perekonomian di sekitar perusahaan tersebut? Ya, sangat miris kehidupan mereka sangat jauh dari kata layak. Mereka hidup miskin di tanah yang kaya.

Tak hanya itu, utang-utang negara pun masyarakatlah yang membayarnya dari hasil pungutan-pungutan pajak yang begitu banyak jenisnya di negeri ini, pemerintah hanya mengatur anggaran dan pengelolaan uang rakyat tersebut. Ya, inilah semua dampak dari terkontaminasinya paham kapitalisme di negeri ini, tidak akan ada kata gratis di dalamnya. Utang tetap dianggap sebagai kewajiban yang harus dibayar baik dalam bentuk uang maupun melalui mekanisme debt swap. Tanpa disadari pemerintah telah membukakan pintu selebar-lebarnya bagi para penjajah. Tidak ada keuntungan yang akan didapatkan Indonesia selain kerugian. Pemerintah akan tetap ikut berkontribusi dalam proyek tersebut, kondisi lingkungan menjadi rusak, dan masyarakat pun menjadi korbannya, selain itu tidak akan ada kesempatan bagi anak negeri untuk membangun negerinya sendiri selain hanya menjadi budak. Negeri ini pun tidak akan pernah menjadi negara yang mandiri dan kuat, karena hampir disemua aspek dikontrol oleh negara asing. Katanya untuk membantu dan menjalin kerjasama, padahal ada udang di balik batu, sudah pasti karena ada tujuan tertentu, mencari keuntungan sudahlah tentu, tinggallah Indonesia mendapatkan kebuntungan.

Indonesia perlu keluar dari persoalan ini dan tidak mudah tergiur dengan tawaran-tawaran pihak asing yang kelihatannya menarik padahal menjebak. Mereka membawa berbagai hadiah padahal ingin menjajah. Ekonomi Indonesia tidak stabil karena harus mengikuti kurs mata uang internasional yaitu dolar, sehingga dalam membayar utang cukup memberatkan Indonesia karena nilai mata uang Indonesia masih terbilang lemah terhadap dolar.  

Utang-utang yang adapun perlu dilunasi secepatnya. Negeri ini begitu kaya dengan sumber daya alamnya, yang jika dikelola dengan cara yang baik dan benar bukan tidak mungkin semua utang-utang Indonesia bisa dilunasi dan pada akhirnya bisa fokus pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan dalam negeri. Sebagai negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, para pemimpinnya pun sebagian besar beragama Islam rasanya tentu sudah tahu akan kebenaran firman Allah SWT tentang haramnya riba, firman Allah yang artinya "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al-Baqarah : 275). Sehingga sangat jelas pembayaran utang dalam Islam harus sesuai dengan jumlah pokok yang dipinjam, jika ada tambahan-tambahan melebihi jumlah pokok pinjaman maka itu termasuk riba dan ini diharamkan dalam Islam.

Satu-satunya sistem pemerintahan yang takut melakukan praktik ribawi adalah sistem pemerintahan Islam, sehingga dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dalam pembangunan pemerintahnya tidak akan sampai berutang kepada negara lain. Dan dalam Islam sendiri tidak menjadikan utang sebagai salah satu sumber pemasukan. Ainul Mizan selaku peneliti Lembaga Analisa Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik (LANSKAP), menjelaskan jika kelak sistem pemerintahan Islam kembali tegak, maka pemerintah akan merekap kembali utang-utang dari sistem sekuler sebelumnya. Pemerintahan Islam atau khilafah akan meminta pada negara kreditur untuk membebaskan tanggungan utang dari khilafah karena utang tersebut dibuat oleh sistem pemerintahan sekuler sebelumnya. Jika negara kreditur menolak maka khilafah akan kembali merekap jumlah utang pokok dengan jumlah sumber daya alam yang telah dikeruk negara kreditur tersebut. Jika masih ada utang yang tersisa khilafah akan melunasinya sesuai jumlah utang pokok.

Tak hanya itu khilafah juga mengambil semua harta kepemilikan umum dan akan mengelolanya sendiri tanpa ada bantuan atau campur tangan pihak asing yang hanya mencari keuntungan. Pemasukan yang didapatkan dalam khilafah akan dikumpulkan dan dikelola oleh Baitul Mal. Dan semua pemasukan tersebut dikembalikan kepada rakyat, baik itu untuk pembangunan, pembiayaan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, pertanian dan lain-lain. Selain itu dalam kepemimpinan Islam tidak ada yang mengejar materi duniawi, semua mereka kerjakan dengan tulus dan ikhlas lagi amanah, tidak mengharapkan imbalan selain mengharapkan ridha Sang Ilahi. Karena itulah Daulah Khilafah menjadi negara yang kuat dan mandiri, tidak mengharapkan bantuan-bantuan dari pihak asing dan ini terbukti Islam pernah berjaya lebih dari 13 abad lamanya dan menguasai 2/3 dunia.

Maka kabar baik dan menarik yang sesungguhnya adalah membebaskan negeri ini dari cengkeraman kaum sekuler kapitalis, kembali bersatu menegakkan syariah dan khilafah. Dengan demikian bukan hanya persoalan utang piutang, persoalan dalam aspek lainnya pun akan teratasi dengan solusi Islam. Negeri ini pun bisa mandiri tak bergantung lagi pada negara barat atau negara kreditur. Dengan Islam solusi yang membawa untung sampai melambung tanpa buntung.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nur Hajrah MS
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments