Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tunjangan Profesi Guru Akan Dihapus, Sejahtera atau Sengsara?

TintaSiyasi.com -- Dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terbaru, tidak dicantumkan mengenai tunjangan profesi guru. Hanya terkait upah, jaminan sosial, dan penghargaan prestasi kerja. Hal ini menuai kritik dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) atas hilangnya ketentutan tunjangan profesi guru yang di naskah sebelumnya diatur pada Pasal 127 ayat 1-10.

Dilansir dari kemendikbud.go.id (29/08/2022), bahwa RUU Sisdiknas mengintergrasi dan mencabut tiga Undang-Undang terkait Pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan bahwa ketentuan pada RUU Sisdiknas berbanding terbalik dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana secara jelas disebutkan mengenai tunjangan profesi guru.  Padahal pemberian tunjangan profesi guru sebagai salah satu bentuk apresiasi atas profesionalitasnya dalam mencerdaskan anak bangsa.

Besar tunjangan yang diberikan berkisar satu juta sampai lebih dari lima juta tergantung pada golongan dan kelas PNS. Sedangkan untuk guru non-PNS, besaran tunjangan profesinya diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen PNS (detik.com, 31/08/2022).

Gaji guru dan dosen hari ini masih banyak yang belum memadai bahkan relatif sangat kecil. Tak heran jika rencana kebijakan terbaru mengenai penghapusan tunjangan profesi guru sangat mengusik keadilan para tenaga pengajar. Karena tunjangan profesi guru ini dianggap cukup membantu perekonomian para guru, apalagi ditengah kondisi harga kebutuhan yang melambung tinggi. Belum lagi gaji dari guru dipotong dengan dalih berbagai iuran yang harus dibayar.

APBN yang terus defisit membuat penguasa berupaya untuk memangkas pengeluaran yang dianggap sebagai beban negara. Begitu pula dengan dihapusnya tunjangan profesi guru ini untuk menggurangi anggaran negara atas nama efisiensi. Namun hal ini sangat kontradiktif dengan kebijakan lainnya, seperti proyek IKN yang terus mendapat suntikan dana dari APBN, anggaran untuk penggantian gorden, anggaran pembuatan kalender dengan jumlah yang fantastis. Ironisnya, segala yang berkaitan dengan kepentingan penguasa tidak dianggap sebagai beban negara.

Guru dipandang sebagai buruh yang mengajar dengan upah minimum, efeknya proses belajar mengajar tidak optimal. Karena banyak guru yang tersibukkan dengan kerja sampingan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, nasib anak bangsa jadi taruhannya.

Ini makin menguatkan bobroknya mengadopsi sistem kapitalisme, dimana ikatan antara penguasa dan rakyat seperti ikatan antara penjual dan pembeli. Seolah negara tidak mau rugi untuk memberikan fasilitas terbaik bagi Pendidikan termasuk kesejahteraan para guru.

Hal ini berbeda dengan sistem islam yang disebut khilafah dimana institusi ini sangat memperhatikan Pendidikan generasi termasuk kepada para pengajarnya. Guru dianggap sebagai profesi mulia yang patut diapresiasi tinggi. Salah satu bentuk penghargaan negara terhadap para guru dengan memberikan gaji yang cukup besar.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, upah guru anak-anak sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Jika dikalkulasikan dengan harga emas hari ini, maka tiap-tiap guru mendapatkan gaji lebih dari 60 juta rupiah. Juga pada masa Khalifah Shalahuddin al-Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khbusyani menjadi guru di Madrasah al-Sahlahiyyah yang setiap bulannya digaji 40 dinar. Pembiayaan gaji guru ini diambilkan dari Baitul Mal dari pos faai’, kharja, dan milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum).

Pemberian gaji guru dalam khilafah tidak lagi dilihat apakah PNS atau bukan, memiliki sertifikasi atau tidak. Tapi semua guru akan mendapat jaminan kesejahteraan sama dari negara. Oleh karenanya sangat urgen untuk membuang sistem kapitalisme yang malah menyengsarakan guru dan memperjuangkan tegaknya islam, agar guru mendapatkan kesejahteraannya. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nabila Sinatrya
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments