TintaSiyasi.com -- Sesak rasanya dada ini melihat berbagai kebijakan yang ada di negeri tercinta. Belum pulih dari hantaman makhluk kasat mata, kini mulai terguncang kembali dengan kenaikan demi kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bak tikus mati di lumbung padi. Aneh memang, namun itulah yang terjadi saat ini. Masyarakat kembali tercekik oleh keadaan yang terjadi saat ini. Kenaikan harga pada produk protein hewani alias telur membuat seluruh ibu harus pintar dalam mengelola keuangan keluarga. Ditambah lagi rumor yang beredar dan insyaallah tinggal pelaksanaannya saja yang belum pasti akan segera kita rasakan. Ya, kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Artinya, kembali harus bersiap untuk kelanjutan kenaikan harga barang yang lainnya. Pasalnya, jika BBM sudah naik maka sudah dapat dipastikan harga barang yang lain pun akan ikut bersamanya.
Sebagaimana dikutip dari salah satu media nasional, Menteri Keuangan (Sri Mulyani) mengatakan bahwa masyarakat harus bisa menerima serta memaklumi alasan kenaikan BBM bersubsidi. Ia menambahkan besarnya alokasi dana untuk BBM bersubsidi ternyata sampai berpengaruh pada membengkaknya nilai APBN. Selain itu, anggaran yang telah dialokasikan tidak tepat sasaran karena banyak orang mampu (kaya) yang menikmati subsidi tersebut. Sehingga perlu adanya sebuah cara yang tepat agar mampu menyelamatkan APBN tadi. Pilihan penyesuaian harga menjadi sesuatu yang dianggap realistis (wartaekonomi.com, 26/08/2022).
Jika kita melihat ke belakang, kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi ini tentu akan terjadi secara terus menerus. Sebut saja dulu BBM premium, kita masih ingat bagaimana masyarakat menyayangkan kebijakan pemerintah menariknya dari pasaran dan digantikan dengan Pertalite. Penolakan terjadi di mana-mana dengan wujud aksi damai, demo, dan lain sebagainya. Yang terjadi tetaplah sama, bahwa kebijakan yang ada harus dijalankan walaupun dengan mengorbankan perasaan masyarakat. Sedih memang melihat kebijakan demi kebijakan yang selalu menekan serta menzalimi masyarakat (rakyat).
Sejatinya ini semua patut diduga bahwa sistem yang berbicara. Kapitalis berpandangan bahwa peran negara hanya sebagai regulator saja bukan sebagai pelayan atau pelindung rakyatnya. Sehingga wajar jika kebijakan yang ada hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Dengan kapitalismenya juga, permainan untung dan rugi menjadi sesuatu yang wajib adanya. Jika menguntungkan maka dilakukan dan dilaksanakan dengan baik. Namun jika tidak menguntungkan maka akan ditinggalkan atau dijauhi.
Begitulah fenomena yang tercipta dalam alam kapitalisme sekarang. Apalagi BBM menjadi sesuatu yang vital, diperlukan oleh seluruh masyarakat. Itu menjadi incaran dan sasaraan empuk bagi para pemilik modal untuk terus mendesak kepada pemerintah agar melepaskan subsidi yang ada pada BBM. Hembusan “menjadi beban negara’ tentunya terus digencarkan, berikut pula pembengkakan pada APBN. Itulah yang terus digembar-gemborkan dan dijadikan sebagai alasan. Padahal di sisi yang lain, ternyata anggota dewan bebas dalam menggunakan dana. Terbaru, negara harus merogoh kocek lebih dalam untuk mencetak kalender alias 'tanggalan' untuk seluruh anggota dewan. Innalillahi, inikah yang disebut sebagai suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat? Ataukah keadilan yang dimaksud hanya untuk perwakilan saja?
Seharusnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan harus dipelajari dan diperhatikan dengan baik. Menakar segala sesuatu yang mungkin akan terjadi diperlukan juga. Agar nantinya tidak ada yang merasa terzalimi akan kebijakan tersebut. Sebut saja pencabutan subsidi BBM ini tentunya akan memberikan efek yang luar biasa pada roda perekonomian negara. Kenaikan harga barang tentu menjadi dampak yang pasti akan kita rasakan. Lha wong harga BBM belum naik saja telur sudah meroket tajam, apalagi kalau sudah ketok palu tentu makin runcing harganya. Belum lagi efek angka kemiskinan akan makin tinggi. Ini artinya akan memunculkan aktivitas-aktivitas kekerasan, kejahatan, dan yang sejenisnya. Itu semua sebagai akibat yang nantinya kita rasakan.
Pemerintah tentunya tidak tinggal diam jika BBM benar akan naik. Dana sosial akan disiapkan untuk masyarakat miskin agar tetap bisa membeli kebutuhan hidupnya. Dengan begitu, daya beli masyarakat akan tetap ada. Langkah pemerintah ini diharapkan menjadi solusi dan kepedulian terhadap masyarakat miskin. Padahal kenyataannya, jumlah nominal dana sosial tersebut nyatanya tak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Ini adalah strategi yang sengaja dijalankan agar pemerintah tak sepenuhnya disalahkan terhadap kebijkan kenaikan BBM ini. Setidaknya ada basa-basi solusi untuk mengatasi persoalan yang ada.
Pencabutan subsidi BBM ini memuluskan liberalisasi pada sektor migas. Gaya pemerintahan neoliberal pada sisi kebijakannya yaitu tidak berdaulat secara politik dan tak mandiri dalam ekonomi. Sehingga wajar saja jika SDA yang ada di negeri ini selalu keruk habis oleh para investor. Artinya liberalisasi SDA kian masif terjadi dan privatisasi aset-aset negara tak terelakkan lagi. Ditambah lagi empati yang ada di diri pemerintah kian memudar bahkan nihil, sehingga keberpihakan dapat kita rasakan kepada siapa. Tak lain keberpihakan tersebut hanya ada pada segelintir rakyat, yaitu yang mempunyai modal besar atau para investor.
Semua itu bermula sejak disahkannya UU Migas (UU 22/2001). Swasta asing ataupun lokal diberikan jalan mulus untuk dapat mengelola migas dari atas hingga bawah (baca: hulu sampai hilir). Dari sisi hulu mereka mengeksploitasi migas di negeri ini untuk selanjutnya diolah dan dipasarkan ke masyakarat. Sehingga banyak sekali bermunculan SPBU asing di berbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat tentunya akan memilih BBM yang murah sehingga akan membeli ke SPBU milik Pertamina. Hal ini tentu akan berdampak persaingan antara SPBU milik pemerintah yang bersubsidi dengan SPBU milik swasta. Tentu ini menjadi sebuah masalah bagi para investor. Mereka tentu kalah saing dengan SPBU milik pemerintah karena harga lebih murah. Dari sinilah akhirnya memunculkan liberalisasi secara keseluruhan agar persaingan menjadi sehat. Inilah titik yang memberikan informasi kepada kita bahwa pemerintah dalam hal ini berlepas tangan untuk menangani masalah BBM. Tunduk dan patuh terhadap sistem yang diterapkan di negeri ini dan mengorbankan rakyatnya sendiri.
Berbeda dengan pandangan Islam yang menjadikan akidah sebagai standarnya. Keimanan yang kokoh dibalut dengan rasa takwa yang tinggi terhadap Allah SWT akan menciptakan karakter pemimpin yang amanah akan tanggung jawabnya. Kemaslahatan umat menjadi poin penting untuk dilaksanakan agar keberkahan dapat segera dirasakan oleh seluruh masyarakat. Untuk mewujudkannya maka pemerintah dalam mengeluarkan segala kebijakan hanya mengacu pada sisi kemaslahatan umat tadi, bukan yang lainnya. Berikut juga terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, maka akan digunakan sebesar-besarnya untuk masyarakat. Negara dalam hal ini berkewajiban untuk mengambil SDA tersebut dan mengolahnya untuk kemudian dikembalikan lagi kepada umat. Di dalam Islam peran negara begitu dominan, sebagai subjek untuk melayani serta menjaga umat. Bukan seperti sekarang ini, hanya sebagai regulator saja.
Negara Islam atau khilafah akan menerapkan aturan Islam di segala lini kehidupan. Termasuk pada bagian ekonominya. Migas akan ditempatkan sebagai kepemilikan umum yang wajib bagi negara untuk mengelolanya dan dikembalikan manfaatnya kepada umat dengan gratis ataupun membayar dengan harga murah (mengganti biaya operasional saja). Dengan begitu maka tak ada jalan masuk bagi para kapitalis untuk menguasai SDA suatu negeri karena kokohnya pondasi negara. Insyaallah kesejahteraan akan segera terwujud dan kemiskinan dapat berangsur hilang.
Rasulullah SAW bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem yang rusak lagi merusak dan beralih pada sistem yang berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Mari bersama-sama memperjuangkan sistem haq yang terbukti membawa manusia pada kegemilangan dan peradaban nan luar biasa. Dan dapat menuntun manusia pada cahaya yang hakiki agar selamat dunia dan akhirat. Kalau bukan kita, siapa lagi? Karena kita hanya ingin solusi pasti, bukan basa-basi pemanis mulut saja.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Mulyaningsih
Pemerhati Masalah Keluarga
0 Comments