Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengapa Kekerasan Seksual terhadap Anak Tetap Mewabah?


TintaSiyasi.com -- Tidak ada habisnya berita terkait kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan sekolah, pesantren, maupun di dalam rumah sendiri. Meski sekolah yang seharusnya menjadi tempat menggali ilmu, atau pesantren yang memprioritaskan ilmu agama, atau bahkan rumah yang dianggap menjadi tempat berlindung bagi setiap anak. 

Dari data Komnas Perempuan selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, perguruan tinggi 35 kasus, pesantren 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus. 

Kasus seorang anak di Medan yang baru berusia 12 tahun, menjadi korban pemerkosaan berulang kali oleh adik nenek dan pacar ibunya, lalu oleh tantenya yang seorang mucikari memaksa korban untuk melayani sejumlah pria selama bertahun-tahun, hingga korban terinfeksi HIV (Kompas, 2022). 

Kasus yang juga sempat menghebohkan Medan, siswi SD kelas 5 yang berusia 10 tahun, diperkosa oleh kepala sekolah, pimpinan administrasi hingga tukang sapu (cnnindonesia, 2022).

Kasus lain terjadi di Padang, dua bocah perempuan berusia 5 dan 9 tahun menjadi korban pemerkosaan dan pencabulan yang dilakukan bergantian oleh keluarga dekat, dari kakek, kakak kandung, paman, hingga tetangga sendiri (detiknews, 2021).

Telah dilakukan upaya merevisi undang-undang perlindungan anak. Dilansir dari palopo.go.id, Undang- Undang lama, Nomor 23 Tahun 2002 pelaku kejahatan seksual hanya diancam dengan pidana maksimal 15 tahun, minimal 3 tahun dan denda maksimal Rp300.000.000, dan minimal Rp60.000.000, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun, minimal 5 tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000. Jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). 

Di sisi lain, Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. 275 daerah mendapat penghargaan kabupaten/kota layak anak (KLA) tahun 2021 (Kompas,2021). Faktanya kekerasan terhadap anak tak kunjung turun malah makin banyak korban. 


Islam Solusi yang Hakiki

Meski pemerintah telah menggagas sejumlah regulasi, nyatanya hukum buatan manusia ini tidak ampuh memberantas masalah kekerasan seksual. Hal ini membuktikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan memberikan lingkungan yang dibutuhkan anak.

Negara saat ini, tidak mampu menjaga akidah dan keimanan individu. Bahkan negara tidak mampu membersihkan media dari tayangan dan tontonan yang rusak dan merusak pemikiran dan memicu bangkitnya naluri seksual.

Jauh berbeda dengan Islam, Karena individu yang bertakwa adalah pilar pelaksana hukum yang pertama. Negara dalam Islam mewajibkan pembinaan agama kepada setiap individu. Karena dengan ketakwaan, manusia mampu meninggalkan segala macam kemaksiatan termasuk kekerasan seksual. 

Terciptalah masyarakat yang bertakwa sebagai pilar kedua dalam pelaksana hukum, yang akan menjadi pengontrol sosial, dengan dakwah masyarakat akan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Islam membebaskan ibu dari kewajiban mencari nafkah, sehingga ibu dapat fokus dalam mendidik dan membentuk kepribadian Islam pada anaknya.

Semua tayangan yang muncul dalam media massa harus terikat dengan syarak, negara akan mengontrol semua ide atau pemikiran yang bertentangan dengan tsaqafah Islam dan mencegah semua konten unfaedah, temasuk pornografi, penyimpangan seksual, dan konten kekerasan berseliweran di tengah-tengah masyarakat. Kurikulum pendidikan dalam Islam juga akan diatur oleh negara, untuk membentuk kepribadian Islam pada setiap siswa.

Negara juga memiliki sistem pergaulan yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan baik dilingkungan sosial maupun privat. Laki-laki dan perempuan non mahram, tidak akan bertemu kecuali pada keperluan yang diperbolehkan syara’. Laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat, menjaga pandangan, dan menjauhi khalwat maupun ikhtilat.

Sistem sanksi dalam Islam pun bersifat tegas, berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa di akhirat dan zawajir atau memberikan efek jera bagi pelaku kemaksiatan agar tidak melakukan hal yang serupa. Negara akan menghukum tegas para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa yang belum menikah akan mendapat 100 kali cambuk dan yang sudah menikah akan mendapat hukuman rajam. Penyodomi akan dibunuh. Jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina (Nizhâmu al-Uqubat). 

Namun aturan Islam yang sangat komprehensif ini, hanya akan terwujud dengan adanya penerapan sistem Islam secara sempurna dalam bingkai negara. []


Oleh: Wanda Kurnia Yuda, S.Kes.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments