TintaSiyasi.com -- Eks napi korupsi atau koruptor tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Mereka masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang.
Sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor dan memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata public. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg.
Pada ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya.
“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” bunyi pasal tersebut, dikutip Sabtu (27/8/2022) (Sumber: BeritaSatu.com).
Koruptor dibebaskan bersyarat tanpa penjelasan cukup ke public, pemerintah berdalih ini sesuai aturan. Dilansir dari detikNews.com, aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022.
Remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri yang apabila napi koruptor telah dapat memenuhi syarat-syarat tertentu maka dapat memperoleh remisi alias pengurangan masa menjalani jabatan sebagai narapidana korupsi.
Sudah hal yang tidak mengejutkan di sistem demokrasi untuk ramah terhadap eks napi korupsi atau koruptor padahal jelas kejahatan yang dilakukan oleh para koruptor sangat berdampak bagi lingkungan sosial masyarakat terutama masyarakat kalangan bawah. Hal ini sungguh disayangkan, sebab hukum demokrasi sangat lemah untuk melindungi rakyat kalangan bawah dan memberikan tempat ternyaman untuk mereka rakyat kalangan atas yang memiliki kekuasaan.
Keluar dari penjara alih-alih bertaubat dan malu untuk menampakkan wajah kepada masyarakat, eks napi korupsi atau koruptor setelah keluar penjara malah haus akan jabatan seakan tidak malu dengan perbuatan mereka karena telah mencuri uang rakyat. Yang kita tahu rakyat bekerja mati-matian yang menikmati oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dalam sistem sekuler, korupsi adalah problem sistemis namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem.
Begitulah kapitalisme mengatur manusia dengan aturan buatan manusia. Berbeda dengan Islam yang standarisasinya dalam melakukan aktivitas amal adalah halal dan haram, firman Allah dalam surat Al Fajr ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” Juga dalam surat Al Hadid ayat 4, “Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Islam akan membentuk Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan tujuannya untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak. Islam memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya. Ketakwaan individu menjadi dasar dalam pengangkatan pejabat/ pegawai negara, dan amanah yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Jadi, sangat jelas solusi problem korupsi adalah bukan hanya dari pemecatan secara tidak hormat saja. Tetapi kembali pada hukum Islam secara kaffah. []
Oleh: Hayunila Nuris
Aktivis Muslimah
0 Comments