Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Peluru Liberalisme Menyasar Anak dan Remaja


TintaSiyasi.com -- Salah satu kekhawatiran terbesar para orang tua baru (milenial) di era ini adalah menyoal seperti apa rupa zaman di masa depan ketika anak-anak telah beranjak dewasa, mulai menyelami hakikat hidupnya dan waktu mereka telah dominan diluar rumah.

Pasalnya, tatanan nilai sosial, budaya dan gaya hidup terus bergesekan. Dan dari pergesekan itu, masif bermunculan gerakan besar dan terencana yang berusaha untuk menormalisasi segala hal yang tadinya dianggap tidak wajar, mengusung pilar liberalisme sebagai pemenangnya. 

Kasus demi kasus yang melegitimasi kerusakan generasi terus membanjiri media. Data kerusakan anak baik sebagai pelaku maupun korban meningkat dari tahun ke tahun. Pertanda bahwa generasi kita sedang tercengkeram dalam sirkuit kerusakan. Mari kita cermati data berikut:

Pada tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya 119 kasus perundungan (bullying) terhadap anak. Jumlah ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 30-60 kasus per tahun.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730.

Robinopsnal Bareskrim Polri mencatat 2.267 anak di seluruh wilayah di Indonesia menjadi korban kejahatan. Jenis kejahatannnya beragam di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, mempekerjakan anak di bawah umur, hingga pelanggaran hak asasi anak-anak sebagai manusia.

Dokter spesialis kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Kristiana Siste Kurniasanti mengungkapkan sebesar 31,4 persen anak remaja di Jakarta mengalami kecanduan bermain internet/ game.
Merujuk hasil survey yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2016, anak yang terpapar pornografi mencapai 63.066 jiwa melalui Google, Instagram dan situs online.

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan ada 65,34 persen, anak usia 9-19 tahun menggunakan gawai atau gadget dalam mengakses pornografi. Sepanjang Tahun 2018, KPAI menerima pengaduan kasus kecanduan pornografi pada anak sebanyak 104 kasus.

Dan baru-baru ini, dunia anak digegerkan kembali oleh kabar seorang anak berusia 11 tahun di Kabupaten Tasikmalaya yang tewas akibat kasus bullying yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Korban dipaksa berbuat tak senonoh terhadap kucing. Lalu adegan tersebut divideo dan kemudian rekamannya disebarkan di media sosial. Atas kejadian itu korban harus menanggung malu, tertekan, dan menjadi obyek bulian teman-temannya. Korban akhirnya diduga mengalami depresi dan enggan makan selama empat hari hingga kondisinya terus memburuk dan dinyatakan meninggal dunia (Tribun Jabar, 26/7/2022).

Menjejali fakta demi fakta kebejatan anak semakin memelekkan mata kita bahwa generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Dalam hati kita berujar, “Kok bisa anak belasan tahun berperilaku sebusuk itu? Dari mana maklumatnya? Sebenarnya apa akar permasalahannya?”

Di tengah kegentingan moralitas anak yang kian menjadi-jadi, bau busuk liberalisme menyeruak lagi tersebab viralnya aksi Citayam Fashion Week dan latahnya generasi dalam merespon keviralan. Potret generasi yang telah menanggalkan rasa malu. Padahal di tangannyalah pondasi perubahan itu berdiri.

Kerusakan anak dan remaja tidak bisa hanya dipandang sebagai output dari kerusakan orang tua semata. Sebab kerusakan orang tua juga adalah output dari sebuah kerusakan yang lebih besar lagi. Jika kita salah dalam menilai asbab (sebab) maka kita akan keliru dalam mendiagnosa, dan kesalahan diagnosa akan berbuntut pada kecacatan penanganan. 

Tidak ditampik, negara telah merancang beraneka program pengembangan bakat anak, menyusun regulasi yang mengatur perlindungan anak dan bahkan mengadakan institusi yang diprivatisasi khusus untuk meningkatkan keamanan anak. Tapi apakah persoalan krisis moral anak menjadi redam? Apakah data-data kasus kejahatan anak menjadi berkurang? Tidak. Sebab solusi yang dihadirkan tidak sampai kepada substansi.

Masifnya perkara daruratnya moral anak dan remaja dari tahun ke tahun serta data-data matematis yang membuktikan kelamnya dunia anak, bersumber dari ditancapkannya roh sekularisme yang kini menjiwai seluruh lini kehidupan kita baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik.

Memisahkan akidah Islam dari kepengaturan kehidupan bernegara sejatinya adalah sumber dari seluruh polemik masyarakat hari ini khususnya menyoal kehidupan anak dan remaja yang berangsur gawat.

Kini dapat dilihat dengan terang benderang, bahwa kebebasan dan HAM (Hak Asasi Manusia) yang digaung-gaungkan kelompok tertentu justru menciderai fitrah kehidupan. Bukan memajukan masyarakat, malah hadirkan keterbelakangan. 

Terlebih lagi, konsep pendidikan saat ini berorientasi materialisme. Mindset orang tua dalam menyekolahkan anak yakni agar anak dapat memperoleh kehidupan finansial yang baik saat mereka dewasa. Karakter materialistik anak telah dibentuk sejak dini hingga mereka duduk di perguruan tinggi bahwa bersekolah adalah fase kehidupan yang bertujuan untuk menjadikan diri kita sebagai mesin pencetak uang. 

Konsep pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan bibit-bibit kapitalis yang mudah mengesampingkan akidah dalam mencapai kepuasan materi. Makna kesuksesan disempitkan hanya dalam kacamata dunia saja. Keeksisan ditempa meski melalui jalur yang salah.

Program, regulasi, dan institusi untuk anak tidak akan berarti apa-apa jika negara terbuka pada pintu-pintu kerusakan anak dan remaja. Negara adalah pihak yang paling capable untuk menutup semua akses dan jangkauan anak dan remaja pada konten-konten pornografi baik dari tontonan, gambar maupun tulisan.

Negara wajib menyumbat seluruh celah-celah datangnya penyebaran nilai-nilai liberalisme meski mengatasnamakan seni dan kreatifitas termasuk seperti halnya aksi Citayam Fashion Week yang sangat transparan menyiarkan citra LGBT, kebebasan berpakaian, dan kenakalan remaja. []


Oleh: Musdalifah Rahman, ST.
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments