Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menjadi Muslim Moderat, Akankah Hidup Kita Lebih Baik?


TintaSiyasi.com -- Beberapa waktu lalu, Penyuluh Agama se-Kabupaten Pacitan menyelenggarakan kegiatan ‘Penguatan Moderasi Beragama’ yang berlangsung di Rumah Makan Sehat Jalur Lintas Selatan (JLS), Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan pada Kamis pagi (16/06/2022).

Menurut Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pacitan, Mutongin, kegiatan yang diikuti oleh 6 penyuluh agama fungsional dan 95 penyuluh Agama Islam non Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini bertujuan untuk menanamkan pemahaman agama yang moderat kepada seluruh penyuluh Agama Islam (jatim.nu.or.id, 16/6/2022). 

Akhir-akhir ini, memang santer gerakan moderasi beragama. Moderasi beragama ini lahir sebagai respon dari banyak wacana negatif seputar radikalisme dan intoleransi. Maka upaya untuk membendungnya adalah dengan deradikalisasi agama, melalui solusi moderasi beragama. Apa sesungguhnya yang dimaksud moderasi beragama? 


Moderasi Beragama Lahir dari Sistem Sekuler 

Moderasi berasal dari kata moderat. Moderat adalah seseorang dalam golongan tengah dari spektrum sayap kiri-kanan. Moderasi beragama sejatinya berasal dari paham Barat "sekularisme". Istilah sekularisme sendiri pertama kali dimunculkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan “sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama, wahyu atau supernaturalisme”.

Paham ini merupakan bentuk trauma masa lalu bangsa Eropa terhadap peran absolut agama (Nasrani yang diwakili gereja). Gereja sangat menentang apapun yang berasal dari luar agama, termasuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang mendukung kemajuan suatu peradaban mereka musuhi. Di saat ilmuwan pada masa itu menemukan inovasi baru, mereka akan dihukum secara biadab karena dianggap bertentangan dengan gereja. Seperti yang terjadi pada Copernicus. Dia dihukum mati akibat mengemukakan teori heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya). Teorinya juga menjadi dasar bagi ilmuwan Eropa lainnya, seperti Johannes Kepler dan Galileo Galilei. Termasuk Giordano Bruno, yang mengalami nasib tragis.

Pada 19 Februari 1600, Giordano Bruno dihukum bakar hidup-hidup di Campo dei Fiori. Semua karyanya dimasukkan dalam Index Librorum Prohibitorum, daftar buku terlarang Gereja Katolik Roma. 

Masa kegelapan yang suram membuat pemikiran masyarakat Eropa sangat terbatas dan sempit. Berbagai kreatifitas sangat diatur oleh gereja. Sikap negara agama yang bertangan besi ini sangat membuat masyarakat Eropa frustasi. Mereka hidup dalam masa abad kegelapan (dark ages). 

Hal ini mendorong gerakan "renaissance". Gerakan ini disebut juga "rebirth" (kelahiran kembali), dipelopori para kaum terpelajar di Eropa. Mereka menggugat peran absolut negara agama (Nasrani) dalam kehidupan. Akibatnya, ada yang menolak eksistensi Tuhan dan agama 100% (ateisme). Ada juga yang tidak secara mutlak menolaknya melainkan membatasi peran Tuhan dan agama sebatas hubungan pribadi (ritual). Di luar itu, agama tidak berhak mengatur urusan negara, termasuk politik. Inilah jalan tengah (sekularisme) yang diadopsi oleh bangsa Eropa. Intinya, sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Apa yang terjadi apabila paham sekularisme, termasuk di dalamnya moderasi beragama ini diadopsi oleh kaum Muslim? 


Moderasi Beragama Bertentangan dengan Islam 

Sistem sekuler yang diemban oleh dunia Barat bertolak belakang dengan Islam. Dari asasnya saja, mereka sudah bertolak belakang. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (1953), sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin 'anil hayah) sekaligus pemisahan agama dari negara (fashluddin 'aniddawlah). 

Seorang Muslim yang hanif meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam..." (QS. Ali Imran: 19). Dan dia akan berusaha menerapkan Islam dalam kehidupannya. 

Bagi orang-orang kafir, yang dikomandoi oleh pemerintah AS, Inggris dan kawan-kawannya, untuk meyakinkan kaum Muslim akan paham sekularisme ini tidaklah mudah. Dahulu, selama 13 abad, umat Islam menjadi umat yang solid dan berpengaruh karena keberadaan sistem Islam ditopang oleh sistem pemerintahan Islam (khilafah). Maka untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim adalah dengan menghancurkan sistem pemerintahannya. Pada 3 Maret 1924, Khilafah Islam terakhir, Turki Utsmani, mereka hancurkan. Sejak itu, umat Islam tidak lagi memiliki satu negara yang mempersatukan mereka. Mereka hidup tercerai berai dalam "nation-states" (negara-negara bangsa) yang disibukkan dengan urusan dapur negerinya sendiri dan tak peduli dengan urusan kaum Muslim di negeri-negeri lainnya. Syariat Islam yang dahulu pernah mengatur kehidupan mereka dicampakkan lalu diganti dengan paham sekularisme.

Dengan paham sekuler yang diterapkan secara sistemis di dunia, tidak lantas menjadikan upaya kaum kuffar mudah untuk menggoyahkan iman dan Islam kaum Muslim. Mereka harus terus mencari berbagai cara agar kaum Muslim menerima paham sekuler. Maka, mereka harus dilepaskan dari keyakinan akan kebenaran agamanya dan menerima paham pluralisme (semua agama itu sama). Mereka terus berusaha menanamkan ide-ide sesat lainnya yang turut menyertai paham sekularisme, seperti: demokrasi dengan empat kebebasannya, nasionalisme, liberalisme, pluralisme, termasuk moderasi beragama. Selain itu, dunia Barat juga konsisten untuk mencitraburukkan Islam melalui gerakan "islamofobia"-nya. Hal ini mereka lakukan agar kaum Muslim ketakutan dengan ajaran agamanya sendiri. 

Upaya ini mulai menuai hasilnya. Saat ini, kita temukan banyak sekali umat Islam yang mulai meninggalkan keyakinan akan kebenaran agamanya. Mereka juga mulai meninggalkan ajaran agamanya. Klimaksnya, di negeri kita, marak berbagai problematika hidup, seperti: generasi yang depresi karena masalah hidup, pergaulan bebas di tengah masyarakat, pelajar bunuh diri karena gagal masuk PTN yang didambakan, bullying yang dilakukan siswa/i terhadap temannya dan ada yang berakhir pada kematian, adanya fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang secara latah diikuti oleh umat di daerah-daerah lainnya, fenomena kaum muslimin murtad, keluar dari Islam karena urusan cinta dan harta, dan beragam problematika kriminalitas dan maksiat lainnya. 

Inilah sedikit realita masalah memilukan yang dihadapi kaum Muslim di negeri kita akibat proses sekularisasi dan moderasi beragama. Ini belum termasuk berbagai masalah di negeri kaum Muslim lainnya. Lantas, dari sisi mana ada kebaikan di dalam moderasi beragama? 

Kaum Muslim hanya dapat bangkit dari keterpurukannya saat ini dengan kembali menerapkan Islam secara kaffah. Moderasi beragama bertentangan dengan seruan Allah dalam firman-Nya, 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah: 208).

Trauma abad kegelapan (dark ages) yang pernah dialami bangsa Eropa terjadi ketika kaum Muslim dahulu hidup bahagia di masa kegemilangannya dalam naungan Khilafah Islam. Maka sungguh keliru jika sekularisme, termasuk moderasi beragama, akan membuat hidup kaum Muslim lebih baik. Yang terjadi malah sebaliknya. Moderasi beragama menjadikan hidup kita terpuruk, dan tertinggal jauh di belakang. Kemudian giliran kita yang akan mengikuti masa-masa traumatik abad kegelapan bangsa Eropa di masa lalunya. Na'udzubillah min dzaalik

Marilah kita tinggalkan paham-paham dan gaya hidup orang-orang kafir yang terbukti menyesatkan kita dari jalan yang diridhai Allah. Kembalilah kepada gaya hidup Islam yang pernah menjadi landasan hidup generasi Muslim terdahulu dan yang terpenting, pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW. Niscaya hidup kita dijamin Allah bahagia di dunia dan di akhirat. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Dian Puspita Sari 
Member AMK
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments