Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Merendahkan, Kehormatan Seharga Makanan


TintaSiyasi.com -- Beberapa waktu lalu Sri Lanka dinyatakan bangkrut. Negeri yang berjuluk ‘Tetesan Air Mata India’ itu mengalami krisis parah akibat gagal bayar utang. Inflasi tinggi, harga-harga kebutuhan pokok naik tak terkira, obat-obatan sangat susah didapatkan, listrik sering mati berkepanjangan, sekolah pun ditutup, cadangan devisa tipis menuju habis sehingga tak ada dana untuk mengimpor. 

Kondisi ekonomi yang anjlok ini bikin banyak perusahaan bangkrut dan tutup. Dengan terpaksa mereka mem-PHK para pekerjanya. Banyak orang yang akhirnya jadi pengangguran. Kerjaan tak ada, duit juga tak punya, terus bagaimana mau makan dan mencukupi kebutuhan lainnya? 


Menukar Kehormatan

Nasib buruk rakyat Negeri Ceylon tidak berhenti di situ saja. Sungguh miris! Sejumlah wanita Sri Lanka rela barter seks dengan makanan! Mereka mau memberikan layanan seksual dengan imbalan makanan dan obat-obatan. Mereka menjadi penjaja seks demi menyambung hidup di tengah kondisi yang sangat menjepit itu. 

Dikabarkan bahwa banyak kaum wanita Sri Lanka yang masuk ke dunia prostitusi karena tak memiliki keterampilan profesional lain. Data kelompok advokasi pekerja seks setempat, Stand Up Movement Lanka (SUML) menyebutkan bahwa jumlah wanita yang terjun ke industri esek-esek ini meningkat hingga 30%! Menurut Direktur Ekesekutif SUML, Ashila Dandeniya, para wanita tersebut sangat putus untuk menghidupi keluarga mereka dan pekerjaan seks merupakan salah satu dari sedikit profesi yang tersisa yang menawarkan banyak keuntungan secara cepat (cnbc.com, 21/7/2022).

Mereka mayoritas berasal dari industri tekstil. Menurut laporan Ecotextile.com, sebuah asosiasi pakaian Sri Lanka, negara ini kehilangan 10-20% pesanannya ke India dan Bangladesh karena krisis ekonomi. Akibatnya, pekerja tekstil yang didominasi kaum perempuan menjadi tak punya pekerjaan. Mereka kemudian memilih menjajakan seks sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Bila gaji bulanan mereka sebelumnya adalah Rs.28.000, 00 (Rp1,1 juta) dan Rs.35.000 (Rp1,4 juta) dengan lembur, tetapi dengan terlibat dalam pekerjaan seks mereka bisa mendapatkan lebih dari Rs.15.000 (Rp624 ribu) per hari. Dalam sebulan, kira-kira mereka bisa mendapatkan penghasilan kurang lebih Rs.450 ribu atau Rp18.720 ribu. 


Kapitalisme Merendahkan

Sebenarnya, apa yang menimpa wanita Sri Lanka tersebut bukan sesuatu yang baru. Sebelum krisis pun telah banyak kaum hawa yang terjerembap dalam gelimang kehinaan. Ada yang dengan sukarela menceburkan dirinya ke lembah kemaksiatan. Ada pula yang terpaksa mengambil jalan terlarang supaya hidup bisa terus berlangsung. 

Sejak dahulu kala, kaum wanita telah menjadi pelaku sekaligus korban dari rusaknya kehidupan. Sukarela atau terpaksa, mereka ditarik agar masuk dalam perangkap setan yang tak berkesudahan. Itu dimulai ketika aturan buatan manusia lebih dimuliakan ketimbang aturan Tuhan. Sejak itulah penderitaan demi penderitaan terus mendera mereka.

Sistem kapitalis yang tidak manusiawi telah memeras perempuan hingga ke tulang nadinya. Setiap seluk-beluk kaum perempuan dimanfaatkan untuk mendatangkan keuntungan. Daya tarik fisik mereka yang lekat dengan keindahan dieksploitasi begitu rupa demi mengalirkan pundi-pundi ke kantong para pemodal.

Dengan dalih emansipasi, kaum perempuan didorong untuk berkarya menghasilkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Padahal, senyatanya mereka dimanipulasi agar mau menjadi agen pemikiran Barat yang liberal. Dengan berani mereka mendobrak tradisi, norma, dan aturan agama yang dianggap mengekang hak-hak mereka. Keluarga dan kehormatan tak lagi penting. Kebebasan ala Barat menjadi hal yang diagung-agungkan. 

Dalam kehidupan yang berlayar dengan kemudi sekuler kapitalis sekarang ini, manfaat atau materi mengambil alih kendali. Demi cuan, apa pun dilakukan. Semua menjadi halal asalkan memperoleh keuntungan. Haram bukan lagi menjadi halangan. Rasa malu pun pergi. Kehormatan seharga makanan. Tak ada lagi rasa takut ketika berbuat dosa, yang penting perut kenyang. Melakukan maksiat dengan terang-terangan, bahkan dipamerkan supaya bisa menjadi konten yang mendatangkan gelimangan penghasilan.

Seperti itulah hidup kita selama ini. Kemaksiatan bukan baru-baru saja terjadi. Ia telah merajalela di segala sisi. Dari kepala hingga ujung kaki, dari hulu hingga hilir, semua tercemar dengan noda-noda hitam. Ragam kejahatan begitu banyaknya dengan pelaku yang bukan lagi hanya oleh orang dewasa. Anak-anak pun telah berani melakukan tindak kriminal. Kemaksiatan bukan cuma dari kalangan awam yang tak paham agama, bahkan mereka yang dianggap alim ulama pun tak luput berbuat nista. 

Parahnya, negara yang harusnya menegakkan aturan, malah menjadi pelaku utama pelanggaran. Alih-alih menjalankan aturan yang baik, negara justru menolak mentah-mentah kebaikan dari syariat. Islam malah dianggap bertentangan dengan aturan yang ada. Pengemban dakwahnya dikriminalisasi.

Kesengsaraan menjadi keniscayaan dalam penerapan hukum sekuler buatan manusia. Ia telah menyalahi fitrah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Bukan ranah manusia membuat aturan hidup sendiri sebab akal yang terbatas dan segala kelemahan yang dimiliki. 

Manusia juga cenderung dikuasai oleh hawa nafsu yang menjadikannya lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Tak ayal bila konflik kepentingan selalu terjadi dalam membuat aturan kehidupan. Alih-alih menciptakan hidup yang baik dan teratur, ragam permasalahan dan kerusakan justru bermunculan tiada henti.

Wanita terhinakan dalam sistem yang bobrok ini. Mereka dimanfaatkan untuk menghasilkan materi. Tak ada jaminan perlindungan dan keamanan. Hak-hak mereka untuk mendapatkan nafkah dan penghidupan yang layak juga tercerabut. Mereka terpaksa bekerja membanting tulang demi sesuap nasi. Bahkan, hingga melakukan pekerjaan hina yang menyimpang dari syariat pun dilakoni. 


Pengaturan Terbaik Menurut Islam

Dalam Islam, kewajiban bekerja mencari nafkah ada pada laki-laki atau suami. Perempuan tidak wajib bekerja. Adapun jika ingin bekerja, maka sifatnya mubah dan harus seizin suami atau walinya. Namun, tetap tanggung jawab mencari nafkah ada pada kaum ayah. Allah telah memerintahkan dalam surah Al-Baqarah ayat 233: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraam karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.”

Untuk bisa memberi nafkah bagi keluarganya, maka para ayah harus memiliki pekerjaan yang bisa menopang kehidupan. Ini menjadi tugas negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat. Tanah, air, udara, dan setiap apa yang ada dalam wilayah negara bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan setiap rakyat.

Negara akan mengelola kekayaan alam yang ada untuk kepentingan bersama. Dari kekayaan alam tersebut, negara akan mengaturnya supaya bisa memberi penghasilan bagi rakyat dan mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Tidak boleh bagi negara menjual atau memberikan wewenang pengelolaan tersebut pada swasta atau asing. Sebab hal ini hanya akan memberikan kesengsaraan bagi rakyat banyak. Negara juga akan mudah dikendalikan oleh para kapitalis yang ber-mindset keuntungan. Boleh mempekerjakan orang asing selama itu tidak membahayakan kedaulatan negara.

Dengan syariat Islam, setiap sektor kehidupan akan ditata agar dapat berjalan dengan baik. Tidak akan ada yang terlunta-lunta, mengemis hingga melakukan pekerjaan hina yang diharamkan oleh agama supaya bisa makan. Negara akan bertanggung jawab penuh untuk setiap urusan rakyatnya. Tanpa memandang latar belakangnya, negara wajib memberikan apa yang menjadi hak-hak rakyat.

Inilah Islam dengan aturannya yang sempurna dan terbaik. Karena itulah, mari tinggalkan segala aturan buatan manusia yang merusak. Beralih segera pada aturan Islam yang hakiki. Hanya Islam yang mampu menjangkau seluruh sisi kehidupan sebab ia bersumber dari Allah SWT. Adakah aturan yang lebih layak diterapkan selain dari aturan-Nya? 

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Ummu Ismail
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments