TintaSiyasi.com -- Penulis Salman Rushdie ditikam di leher dan dada saat memberikan kuliah di negara bagian New York, Amerika Serikat, Jumat (12/8) waktu setempat. Akibat kejadian tersebut, tokoh sastra Inggris itu terancam kehilangan satu matanya. Rushdie diserang saat memberikan ceramah soal kebebasan artistik di Institusi Chautauqua, New York. Seorang pria tiba-tiba naik ke panggung dan menyerang novelis yang diincar Iran tersebut. "Salman kemungkinan akan kehilangan satu mata, saraf dilengannya terputus, dan hatinya ditikam," kata agen buku Rushdie, Andrew Wylie seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (13/8).
Dikutip dari Associated Press, Rushdie merupakan salah satu penulis yang paling dicari pemerintah Iran. Ini lantaran novelnya yang terbit pada 1988, The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) dianggap banyak Muslim sebagai penghinaan terhadap Nabi Muhammad.
Bahkan, buku tersebut mengakibatkan gelombang protes hingga kerusuhan. Paling tidak, ada 45 orang yang tewas dalam kerusuhan terkait The Satanic Verses, sebanyak 12 orang berada di kampung halaman Rushdi, Mumbai, India. Tak hanya itu, tahun 1991, seorang penerjemah Jepang bernama Hitoshi Igarashi ditikam hingga tewas lantaran menerjemahkan buku tersebut. Tahun 1993, penerbit buku dari Norwegia ditembak tiga kali, namun masih selamat.
Buku itu juga dilarang terbit di Iran. Bahkan, pemimpin Iran saat itu, Ruhollah Khomeini pada 1989 sempat mengeluarkan fatwa yang menyerukan kematian terhadap Rushdie. Hingga kini, fatwa tersebut belum ditarik oleh Iran. Ancaman tersebut membuat Rushdie bersembunyi dengan perlindungan polisi Inggris. Ia muncul lagi setelah sembilan tahun mengasingkan diri dan tetap mengkritik ekstremisme agama.
Kasus penikaman Salman Rushdie seharusnya mengingatkan kita bahwa dunia Barat sangat menyokong para penista agama Islam, bahkan mereka memberikan dorongan agar penjahat agama sejenis ini bisa mengkampanyekan kesesatannya. Para penista selalu mendapat impunitas/kekebalan dari jeratan hukum yang ada.
Serangan terhadap Islam semakin bertambah seiring menguatnya pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM) dan pemikiran sekuler di tengah masyarakat. Dengan berlindung di balik kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi, kaum kafir dan kaum munafik dengan begitu terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Islam dan umat Islam.
Kelancangan kaum kafir dan kaum munafik yang menghina dan melecehkan Islam semakin menjadi-jadi saat pemerintah melakukan pembiaran atas berbagai tindakan tersebut. Banyak laporan penghinaan, pelecehan, dan pelabelan negatif yang dilaporkan ke aparat keamanan tidak mendapatkan respon memadai.
Vonis hukum yang ringan kepada para pelaku penistaan agama Islam, sejatinya akan memunculkan banyak penista agama yang lain. Akibatnya, alih-alih akan membuat jera para penista agama, yang terjadi justru sebaliknya. Islam seolah-olah bebas untuk dinodai dan dihina.
Di sisi lain, Ghirah umat Islam juga tidak bisa jika hanya fokus pada menghukum para penista agama, akan tetapi harus diarahkan untuk menghentikan hegemoni sekularisme dan sistem liberal yang memfasilitasi penistaan agama tersebut.
Dengan landasan sekularisme, paham liberalisme tumbuh subur. Kebebasan disakralkan. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam pun lantas dibenarkan sebagai ekspresi dari kebebasan dan bagian dari HAM.
Sekularisme mengharuskan negara sekuler netral dari agama; tidak boleh memihak agama apa pun dan harus melindungi kebebasan. Negara sekuler tidak mungkin melindungi kemuliaan agama, khususnya Islam.
Ajaran Islam akan terus mengalami penghinaan selama sekularisme terus dijalankan. Sebabnya, sekularisme yang menjadi akar masalahnya. Karena itu tidak ada pilihan lain selain mencampakkan sekularisme beserta ide-ide turunannya dan menggantinya dengan sistem Islam, sistem yang jelas mampu menjaga martabat agama bahkan nyawa seluruh umat manusia.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Nanis Nursyifa
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments