Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Miris, Kasus Pelecehan Seksual oleh Anak Kiai Memunculkan Islamofobia


TintaSiyasi.com -- Nowadays, pelecehan seksual ramai diperbincangkan. Hampir tiap hari berita yang disiarkan membahas terkait kasus pelecehan seksual. Miris, melihat banyaknya orang - orang diluar sana yang tega melakukan kekejaman tersebut. Mengikuti nafsu yang hanya mendatangkan kerusakan. Menorehkan luka, bukan hanya fisik namun batin korban. Hingga memunculkan trauma. Namun, belakangan ini khususnya ditahun ini pencegahan kasus pelecehan seksual terlihat telah dilakukannya penindakan yang serius. Dimulai dari tokoh yang berani speak up, dan menindaklajuti secara hukum. Masih banyak kasus lainnya, seperti seorang ayah yang tega memperkosa anaknya sendiri, serta paman yang tega melecehkan anak saudaranya. Karena banyaknya kasus yang bermunculan sehingga pemerintah mengeluarkan UU yang mengatur persoalan tersebut yaitu UU TPKS (Tindak Pelecehan Kekerasan Seksual).

Baru-baru ini, ada satu kasus yang masih menjadi pembicaraan publik. Kasus pelecehan yang dilakukan oleh Moch Subchi Azal Tsani atau Mas Bechi terhadap sejumlah santriwati di pesantren Shiddiqiyyah, Jombang. Beliau merupakan anak dari tokoh atau orang yang mengelola pesantren dan lembaga. Kasus ini muncul saat santriwati yang diduga korban melaporkan tindakan pelecahan yang dilakukan oleh Moch Subchi tersebut. Sulit untuk dipercaya, seorang anak kiai melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Begitulah mindset kebanyakan orang, saat tindak kejahatan dilakukan oleh tokoh yang terkait dengan Islam. Bukan tindakannya yang disorot melainkan simbolnya. Yaitu, Islam. Dan dengan lucunya, kasus ini diberitakan dengan begitu masifnya.

Kasus ini pun kemudian bikin geger tanah air, sehingga Komnas HAM turun tangan dan menyebut aparat penegak hukum perlu menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). "Komnas HAM meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian sudah seharusnya menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk menindak para terduga pelaku tersebut sesegera mungkin," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).

"Komnas HAM mengimbau semua pihak perlu menyadari, bahwa penegakan hukum, khususnya UU TPKS terhadap terduga pelaku kekerasan seksual, adalah bentuk dari upaya melindungi harkat dan martabat, serta HAM warga negara," lanjutnya. Maka dari itu, terang Amiruddin, jika ada pihak-pihak yang menghalang-halangi proses penegakan hukum, Komnas HAM mendorong aparat tak ragu untuk menindak. Komnas HAM, jelas Amiruddin, juga mendorong jaksa dan hakim dalam mengadili Mas Bechi, sudah semestinya menggunakan UU TPKS secara maksimal.  

Entah kenapa saat tersangka yang berkaitan dengan Islam, kasus ini malah dibesar-besarkan. Hingga menyinggung aspek-aspek yang lain, bukan hanya kasus pelecehan tapi terkait penyalahan dana, radikal dan terorisme. Seakan-akan ingin memberikan gambaran ke publik bahwa lembaga islam sudah tidak dapat dipercaya. Mempermainkan kata bahwa seorang anak kiai, pengelola pesantren melakukan tindakan pelecehan seksual. Memusatkan inti kata pada "kiai" dan "pesantren." Yang mana jelas terlihat hal tersebut sangat berkaitan dengan Islam dan adanya pemanfaatan dari situasi ini untuk menggiring untuk takut atau benci terhadap agamanya. Serta segala macam upaya yang dilakukan oknum-oknum agar pengangkatan isu ini dapat memberikan kesan buruk terhadap insitut agama. Kasus ini jelas berhubungan kembali terhadap masalah islamofobia. Umat dibentuk untuk mencurigai dan membenci agamanya sendiri. Begitulah kondisi saat ini, saat permasalahan atau kasus yang muncul terkait dengan Islam maka yang disoroti adalah simbolnya bukan orangnya.

Padahal, dalam Islam jelas diterangkan bahwa pelecehan seksual adalah sesuatu yang dilarang dan perbuatan yang tidak terpuji. Disebutkan pelecehan seksual baik fisik maupun nonfisik sebagai “ar-rafast” dan “fakhisyah”. Menurut mufassirin ar-rafast adalah al-ifhasy li al-mar’ah fi al-kalam atau ungkapan-ungkapan keji terhadap perempuan yang menjurus kepada seksualitas. Sedang fakhisyah mirip dengan ar-rafast yaitu perbuatan atau ungkapan ungkapan kotor yang menyerang dan merendahkan harkat dan martabat perempuan. Ungkapan-ungkapan dan tindakan keji yang menjurus seksualitas, seperti menyebut tubuh perempuan bahenol, pelacur, dan body shaming lainya yang merendahkan ketubuhan perempuan. Serta tindakan meraba-raba, mencolek, menggosok gosokkaan anggota tubuh dan tindakan lainnya, jelas diharamkan baik di domestik ruang-ruang publik, dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun.  

Dalam beberapa hadis, Nabi bersabda: “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik dari pada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya” (HR. At-tabrani, Rijaluluhu tsiqatun).

Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu diatas bahu perempuan yang bukan istrimu” (HR. At-Tabrani).

Dua hadis ini meneguhkan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang dilarang dalam Islam karena ia merendahkan martabat kemanusiaan, baik martabat pelaku, terlebih lebih martabat korban. Sehingga tidak masuk akal jika islam dikaitkan dengan isu-isu negatif, sebab didalamnya terkandung aturan-aturan yang bersumber dari Sang Pencipta.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Andi Mufidah Humaerah
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments