Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kejamnya Jerat Kapitalisme, Berkacalah kepada Sri Lanka!

 

TintaSiyasi.com -- Sri Lanka didera krisis dan disebut bangkrut. Rakyatnya harus mengantri berhari-hari untuk mendapat bahan bakar. Terbaru, perdana menteri dan presidennya berjanji akan mundur dari posisi mereka. Krisis di Sri Lanka disebut sangat serius. Negara tetangga India itu memiliki utang sebesar USD51 miliar dan tak mampu membayar bunga dari pinjamannya yang sebagian besar dikucurkan oleh IMF. Sementara sektor pariwisata yang jadi tulang punggung ekonomi Sri Lanka kolaps sejak aksi bom gereja di Kolombo tahun 2019, dan akibat pembatasan selama pandemi.  

Mata uang Sri Lanka pun terperosok hingga 80 persen. Nilai tukar yang lemah menyebabkan biaya impor semakin mahal dan membuat harga makanan melonjak mencapai 57 persen. Kini negara itu tak memiliki cukup uang untuk mengimpor bahan bakar minyak, susu, gas LPG, hingga kertas toilet. Belum lagi masalah korupsi yang semakin membuat rumit masalah ekonomi. Mereka memperkaya diri sendiri dan memperburuk perekonomian, dikutip dari AP.  

Di bawah kepemimpinan Rajapaksa, Sri Lanka dilanda krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah sejak Sri Lanka merdeka pada 1948 silam. Harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rezim Sri Lanka gagal menyelamatkan ekonomi nasional. Rezim Sri Lanka dalam 1 dekade terakhir terus menambah pinjaman kepada lembaga asing. Ketergantungan pada utang asing memperburuk ekonomi nasional dan gagal memulihkan perekonomian Sri Lanka. Krisis di negara tersebut mencapai kulminasi pasca pandemi Covid-19. Defisit neraca pemerintah membesar. Peringkat kredit negara ini mendekati level default.

Bantuan asing mengandung potensi berbahaya. Syaikh Abdurrahman al-Maliki, dalam bukunya, As-Siyaasah al-Iqtishaadiyah al-Mutslaa (Politik Ekonomi Ideal), dengan tegas mengatakan bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Utang tersebut senantiasa membuat umat menderita. Utang luar negeri juga menjadi jalan untuk menjajah suatu negara. Apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki pada tahun 1960-an itu kemudian memang terbukti. Utang luar negeri menjadi alat penjajahan Barat. Lewat utang luar negeri, Barat memaksa negara-negara yang diberi bantuan agar tunduk pada kepentingan mereka.  

Apa yang terjadi di Sri lanka bisa saja terjadi di negara mana saja yang sama-sama mengadopsi sistem kapitalisme, termasuk negara kita Indonesia. Problem yang saat ini terjadi di Indonesia khususnya di bidang ekonomi, pendidikan, dan juga kesehatan menjadikan rakyat Indonesia semakin terpuruk dalam jerat kapitalisme. Begitu pun dalam hal utang piutang, saat ini utang Indonesia bukan main-main Rasio utang terhadap PDB saat ini adalah 39% dengan nominal utang mencapai Rp 7.040,32 triliun. "Dengan penerimaan yang kuat dari commodity boom, rasio utang kita terhadap PDB sebenarnya telah turun 13%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam UI International Conference on G20, dikutip Selasa (21/6/2022). 
 
Selain itu, persoalan yang tak kalah penting adalah masalah rusaknya pengelolaan SDA dan energi yang membuat rakyat semakin menderita. Dalam sistem kapitalisme yang paling menonjol dan menjadi ciri khasnya adalah kepemilikan individu. Siapapun itu, baik individu ataupun kelompok boleh saja dan sah-sah saja memiliki berbagai fasilitas umum selama punya modal banyak. Saat ini, SDA lebih banyak dikelola oleh sebagian individu dan juga kelompok, bahkan ada yang dikelola oleh pihak asing. Selain itu ketidakstabilan moneter yang berdampak pada munculnya persoalan ekonomi menjadikan masalahnya semakin kompleks.  

Dalam Islam, jika negara dalam kesulitan keuangan maka khalifah akan meminta rakyatnya yang kaya raya (hanya orang kaya saja) untuk membantu keuangan negara, tidak ada pinjaman berbasis bunga baik dari lembaga swasta maupun negara lain. 

Kemudian masalah kepemilikan sumber daya alam (SDA), Islam mengatur hak milik negara yang dikelola untuk kepentingan rakyat, harta milik umum yang dikelola negara juga untuk kepentingan rakyat dan harta milik individu. Adanya pengaturan kepemilikan ini menjadikan pemimpin yang sedang berkuasa dan rakyat tidak semena-mena dalam menguasai dan mengelola SDA seperti yang kita lihat saat ini. 

Walhasil menerapkan ekonomi Islam sebagai solusi, adalah satu-satunya pilihan terbaik ketika sistem ekonomi lain tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Wallahu a'lam. []


Oleh: Nanis Nursyifa
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments