Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Haji: Upgrading Spiritual dan Politik


TintaSiyasi.com -- Setiap tahun, pada bulan Dzulhijjah, jutaan kaum Muslim mendatangi Baitullah di kota Makkah. Mereka rela bepergian meskipun Baitullah amat jauh jaraknya dari negeri tempat mereka tinggal dan iklim di kota Makkah sangat berbeda dengan iklim di negeri mereka hidup. Mereka bersedia meninggalkan keluarga, karib-kerabat, kesibukan, dan pekerjaannya untuk memenuhi panggilan Allah. Semua itu dilakukan oleh kaum Muslim—jemaah haji—karena menaati syariat Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah haji dan ingin meraih keridhaan Ilahi. Sedemikian kental nuansa ibadah dalam prosesi haji sehingga nyaris seluruh aktivitas jamaah haji di Tanah Suci hanya difokuskan untuk mengingat dan menyebut Allah; meminta, berdoa, rukuk, dan sujud kepada-Nya saja.

Mungkin amat sedikit di antara jemaah haji yang mengaitkan Baitullah dan kota Makkah dengan perjuangan Rasulullah SAW. Bagi jemaah haji yang mengenal sirah Nabi SAW dan sejarah Islam, Makkah adalah tempat munculnya risalah Islam pertama kali di atas dunia; tempat Rasulullah SAW menyampaikan dakwah dan bergabungnya para sahabat generasi pertama dalam dakwah Rasulullah SAW serta dalam menghadapi penentangan dan perlawanan kaum kafir Quraisy; tempat titik tolak Rasulullah SAW dan kaum Muslim berhijrah ke kota Madinah; tempat yang menjadi saksi peristiwa Fath al-Makkah (Pembebasan kota Makkah); tempat yang menjadi asal-muasal mabda’ (ideologi) Islam yang kemudian mendominasi seluruh dunia dan malang-melintang di kancah politik internasional selama lebih dari 13 abad; tempat yang semula tidak pernah diperhatikan oleh Kerajaan Romawi dan Kekaisaran Persia, namun kemudian kedua negara adidaya itu luluh-lantak oleh kekuatan pasukan kaum Muslim dalam tempo yang amat singkat.

Pada saat jemaah haji mendatangi kota Makkah, mereka sejatinya dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan Bilal ra yang disiksa oleh Umayyah bin Khalaf, tuannya; dengan ditindih oleh batu besar, ditelentangkan di bawah terik sinar matahari, dan ditidurkan di atas pasir gurun yang membara seraya disiksa dan dipaksa untuk murtad. Di kota Makkah, jemaah haji sejatinya juga bisa membayangkan bagaimana Rasulullah SAW, para sahabat, serta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib berkumpul di celah-celah bukit seputar kota Makkah; mereka menderita di bawah pemboikotan total yang dilakukan oleh seluruh kabilah Quraisy yang berlangsung selama tiga tahun, di tempat yang berada di tengah-tengah gurun tandus, dengan cuaca di siang hari yang amat panas dan di malam hari amat dingin.
 
Di luar kota Makkah, para jemaah haji bisa menelusuri tempat pertama wahyu turun, Gua Hira. Tatkala jamaah haji berada di Mina untuk melontar jumrah, ia akan menyaksikan Bukit Aqabah, tempat kaum Anshar dari Madinah berbaiat kepada Nabi SAW untuk setia dan membela Beliau, bersumpah untuk membela risalah Islam dan bersedia menghadapi seluruh bangsa yang menghalang-halangi dakwah Rasulullah SAW, meski dengan mengorbankan seluruh tokoh-tokoh dan ksatria mereka. 

Lebih jauh lagi, tatkala jemaah haji bermunajat kepada Allah SWT di Padang Arafah, ia sejatinya bisa merasakan dan menghayati satu-persatu sabda Rasulullah SAW di dalam khutbah Wada’, yang Beliau sampaikan kepada seluruh kaum Muslim yang sedang menjalankan ibadah haji. Di tempat itu pula diturunkan beberapa ayat dari surat al-Maidah.

Tatkala jemaah haji mengunjungi Madinah al-Munawwarah, ia bisa menyaksikan bukan saja pusara Rasulullah SAW, melainkan pula gambaran bagaimana Beliau dan istri-istrinya tinggal di petak-petak sederhana yang berdempetan ke dinding masjid; tempat kaum Muslim pada masa Rasulullah SAW sering menyaksikan diberangkatkannya pasukan Muslim yang gagah berani ke medan perang, mendengarkan nasihat dan khutbah Rasulullah SAW yang disampaikan kepada para prajurit; tempat kaum Muslim menyambut pasukannya yang baru tiba dari medan jihad fi sabilillah dengan membawa kemenangan dan ghanîmah yang amat banyak; tempat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra menyampaikan pidatonya yang pertama kali sebagai khalifah (kepala negara kaum Muslim). Di masjid itulah Rasulullah SAW mengatur administrasi pemerintahan Daulah Islamiah, mengangkat para wali (gubernur) dan amil (bupati/walikota), mengangkat para kutâb (para penulis), mengadili dan menyelesaikan seluruh persoalan dan perselisihan kaum Muslim yang diajukan kepada Rasulullah SAW.

Di Madinah pula jemaah haji bisa menyaksikan bekas-bekas khandaq (parit) yang digunakan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslim sebagai pertahanan menghadapi pasukan Ahzab (koalisi kafir). Di sekitar Madinah jemaah haji dapat menelusuri tempat-tempat yang dulunya menjadi perbentengan/permukiman kaum Yahudi Qainuqa’, Nadhir, dan Quraidhah; tempat yang menjadi monumen dendam dan permusuhan Yahudi terhadap Islam dan kaum Muslim yang tidak pernah hilang hingga kini; tempat Sa‘ad bin Mu‘adz menjatuhkan putusan untuk membunuh seluruh laki-laki dewasa Yahudi Bani Quraidhah, sebagai hukuman keras terhadap mereka karena mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah SAW (dan kaum Muslim) dan berupaya untuk bersekongkol dengan musuh dalam rangka menghancurkan Daulah Islamiah di Madinah. 

Sedikit di luar kota Madinah, jemaah haji bisa mengunjungi Bukit Uhud, tempat para pejuang Muslim banyak yang gugur sebagai syahid dan dimakamkan di medan Perang Uhud. Itu mereka lakukan dalam rangka menjaga eksistensi Daulah Islamiah dari rongrongan kaum kafir yang berusaha menghancurkannya, serta mempertahankan kelanjutan perjalanan risalah Islam.

Semua itu sejatinya mengingatkan, dan membangkitkan kesadaran politik kaum Muslim, serta mengaduk-aduk perasaan dan jiwa jamaah haji, betapa perjuangan Rasulullah SAW di kota Makkah demikian berat; begitu pula perlawanan kaum kafir yang tidak henti-hentinya melontarkan fitnah keji, penganiayaan, pemboikotan, dan pembunuhan terhadap kaum Muslim. Setelah Rasulullah SAW berhasil mendirikan Daulah Islamiah di kota Madinah, perjuangan untuk menyebarluaskan risalah Islam bukan semakin surut, dan persekongkolan kaum kafir untuk menghancurkan Daulah Islamiah tidak semakin kendur. Jemaah haji bisa menyaksikan, menggambarkan, dan merasakan langsung di tempat yang pernah menjadi saksi atas seluruh denyut kehidupan Rasulullah SAW dan sejarah Islam.

Jadi, apakah kita sadar bahwa jemaah haji yang datang ke kota Makkah dan berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah sesungguhnya selalu diajak untuk memperbaharui kesadaran politiknya? Apakah kita juga sudah memelihara hasil-hasil yang pernah dicapai oleh Rasulullah SAW, yang berjuang untuk menegakkan dan memelihara eksistensi Daulah Islamiah?

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Al Azizy Revolusi
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments