TintaSiyasi.com -- Secara normatif maupun faktual, Jurnalis Joko Prasetyo blak-blakan menyatakan, Pancasila adalah topeng sekularisme. "Secara normatif maupun faktual, Pancasila adalah topeng sekularisme," tutur Om Joy, sapaan akrabnya, kepada TintaSiyasi.com, Selasa, 24 Mei 2022.
Menurut Om Joy, bisa dikatakan sekuler/sekularisme karena memang secara normatif maupun secara faktual mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah yang Mahakuasa), tetapi dalam tata negaranya, maupun sebagain (besar) hukum yang diterapkan bukan dari Islam, bahkan tak sedikit yang bertentangan dengan Islam.
"Mungkin sebagian kaum Muslim bertanya-tanya mengapa Pancasila dikatakan sebagai nama lain dari sekularisme, bukankah sila pertamanya jelas-jelas Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan di Pembukaan UUD 1945 disebutkan Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...?" sentilnya.
Jika konsekuen dengan sila pertama, Om Joy menjelaskan, seharusnya secara tata negara tidak menerapkan sistem demokrasi. Faktanya, ia ungkap, negara ini bersistem pemerintahan demokrasi yang dikatakan sesuai dengan sila keempat Pancasila.
"Sedangkan dalam pandangan Islam, demokrasi merupakan sistem kufur yang haram untuk ditegakkan, dijaga, dan disebarluaskan. Lantaran, sistem tersebut, pertama, bukan lahir dari akidah dan syariat Islam, tetapi lahir dari akidah sekuler kafir penjajah Barat, serta kedua, menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat," jelasnya.
Padahal dalam Islam, ia menegaskan, kaum Muslim sama sekali tak boleh menerapkan sistem pemerintahan yang lahir dari akidah dan aturan selain Islam, dan wajib hanya menjadikan Allah SWT yang berdaulat dengan menjadikan Al-Qur'an, Hadis, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar'i sebagai sumber hukumnya.
Selain itu, ia mempertanyakan, tak ada satu klausul pun dalam konstitusi negara Pancasila ini yang mewajibkan penyelenggara negara menerapkan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa Allah yang Mahakuasa secara kaffah. "Makanya, banyak regulasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam tetapi tak pernah dinyatakan bertentangan dengan Pancasila," bebernya.
Regulasi-regulasi yang bertentangan dengan Islam, ia jelaskan sebagai berikut. Pertama, regulasi yang melegalkan perbankan maupun pinjaman online (pinjol) menarik riba (bunga/interest). Kedua, melegalkan negara melalui BUMN Sarinah mengimpor khamar (miras/minol) dan menjualnya di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini, juga melegalkan Pemda DKI Jakarta dan Pemda NTT memiliki saham di pabrik khamar.
"Sampai detik ini pun badan yang paling otoritatif dalam pembinaan 'ideologi' Pancasila (BPIP) tak pernah mempermasalahkan semua keharaman dalam Islam tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila," bebernya.
Ketiga, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam karena banyak pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya adalah memandatkan kepada presiden agar membolehkan asing berinvestasi membuat pabrik miras di Indonesia) dikatakan sesuai Pancasila.
Ia mengutip ucapan Sekretaris Utama BPIP Karjono, Jumat (27/11/2020) sebagaimana diberitakan di situs resmi BPIP, bpip.go.id, “Saya bisa katakan Omnibus Law UU Cipta Kerja Pancasila banget."
Keempat, agama dianggap musuh Pancasila, padahal agama memang musuh paham sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Lebih jauh lagi, ia mengutip ucapan Ketua BPIP Yudian Wahyudi sebelumya (Februari 2020) menyatakan, "Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama."
"Agama apa lagi yang dimaksud kalau bukan Islam? Karena selama ini ajaran agama yang distigma negatif rezim negara Pancasila ini adalah Islam, tak terdengar mereka menstigma negatif ajaran agama selain Islam," tanyanya.
Ia mengatakan, dari hal itu kaum Muslim mesti sadar, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. "Selain itu, tak perlu pula berekspektasi seluruh syariat Islam akan diterapkan secara sempurna di negara Pansa Zila dengan sistem pemerintahan demokrasinya," jelasnya.
Karena, menurut dia, sekularisme, apa pun namanya, memastikan tata negaranya jangan sampai islami, dan (sebagian/sebagian besar/seluruh) aturan yang ditegakkan tak boleh dari Islam.
Menurut dia, wajar, jika ajakan dakwah Islam kaffah selalu dibenturkan dengan Pancasila. "Maka tak aneh, Pancasila kerap kali dijadikan alat rezim dari masa ke masa untuk menggebuk siapa saja yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah, dengan alasan: radikal, bertentangan dengan Pancasila, tidak demokratis, dan lain sebagainya," jelasnya.
Tetapi, giliran penjahat seksual manggung di podcastnya Deddy Corbuzier dan berbagai wasilah lainnya, ia menjelaskan, justru mendapat pembelaan dari salah menteri dengan alasan demokrasi. Ia pun mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, "Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Deddy menampilkan LGBT di podcast miliknya."
Secara nyata, ia melihat, jelas-jelas propaganda kejahatan seksual yang dilakukan DC itu sama haramnya dengan praktik kejahatan seksual yang dilakukan pasangan penjahat seksual yang diundangnya, semuanya dalam aturan Islam wajib dihukum tegas, tanpa ampun.
"Maka, sekali lagi, dapat disimpulkan, secara normatif maupun faktual, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. Tak lebih dan tak kurang," tegasnya lagi.
Gara-Gara Penjajah
Ia menjelaskan, khusus di Indonesia, merupakan keberhasilan penjajah kafir Belanda dalam program Politik Etis pada 1901-1942, yang salah satu targetnya adalah berupa edukasi agar kaum Muslim menjadi sekuler dan menerima ide negara bangsa.
"Walhasil, bukan berjuang mengusir penjajah untuk kembali menegakkan syariat Islam secara kaffah dengan sistem pemerintahan khilafah dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, setelah penjajah terusir malah semuanya menjadikan sekularisme sebagai dasar negaranya," lugasnya.
Sistem pemerintahannya, bermacam-macam, ada yang demokrasi, contohnya, di Indonesia dan Pakistan. Ada pula yang kerajaan, contohnya adalah Brunei Darussalam dan Arab Saudi.
"Tadinya, kaum Muslim bersatu dalam naungan khilafah dengan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya sehingga tegaklah syariat Islam secara kaffah. Pasca-runtuhnya khilafah, kaum Muslim terpisah dan tersekat ke lebih dari 57 negara bangsa dan tak satu pun negaranya yang menerapkan syariat Islam secara kaffah," katanya.
Menurut dia, hal itu terjadi lantaran faktor internal dan eksternal. Pertama, secara internal pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran Islam mengalami kemerosotan signifikan. Kedua, secara eksternal, kafir penjajah berhasil menanamkan ide sekularisme dan ide negara bangsa di benak tokoh-tokoh Muslim yang memang mengalami kemunduran pemahaman akan ajaran agamanya sendiri.
"Hanya saja, sekularisme ini memiliki nama beragam. Di Indonesia dikenal dengan nama Pancasila," pungkasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Comments