TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai, penyebutan Presiden Jokowi bahwa isu perpanjangan masa jabatan presiden adalah bagian demokrasi merupakan sikap hipokrit.
"Jokowi dulu bilang isu perpanjangan masa jabatan presiden tampar mukanya, kini sebut itu bagian demokrasi. Pernyataan Pak Presiden juga bisa dinilai antiklimaks terhadap gonjang-ganjing wacana itu, karena terkesan abu-abu, inkonsisten, ambigu, dan hipokrit!" ulasnya dalam segmen Tanya Profesor di kanal YouTube Prof. Suteki, Ahad (6/3/2022).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) itu menyampaikan, mestinya presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di awal wacana langsung memberikan pernyataan resmi, setop wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
"Sehingga tidak menjadi bola liar yang menguras energi bangsa," tegasnya.
Prof. Suteki mengingatkan, dulu Presiden Jokowi menyatakan bahwa jika ada orang yang mendorong perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode itu, orang itu menampar mukanya, mencari muka, dan menjerumuskannya.
"Lalu kenapa selama dua mingguan ini dia membiarkan perbincangan yang jelas memenuhi tiga hal itu hingga akhirnya menyatakan itu bagian dari demokrasi," gugatnya.
Kalau dicermati, menurutnya, respons yang ditunjukkan presiden saat ini terhadap wacana penundaan Pemilu dan penambahan tiga periode masa jabatan presiden, tampak jelas ada penurunan ketegasan jika dibandingkan respons pada akhir tahun 2019 lalu dan terkesan inkonsisten.
Lebih lanjut Prof. Suteki menjelaskan, perpanjangan jabatan itu sebagai konsekuensi adanya penundaan pemilu, yang sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang berkemauan untuk melakukan penundaan Pemilu.
"Semula saya baca berita yang menyatakan bahwa justru yang mempunyai kemauan untuk penundaan Pemilu itu Presiden Jokowi. Lalu meminta menteri dan ketua-ketua parpol untuk melempar wacana sekaligus menyetujui rencana tersebut. Kalau ini benar, maka ini adalah persekongkolan (konspirasi)," ujarnya.
Ia menyebut, dugaan persekongkolan mereka dapat disebut sebagai persekongkolan jahat untuk makar terhadap konstitusi.
"Jika hal ini benar, maka presiden dapat diduga telah melakukan upaya pelanggaran terhadap konstitusi dan dapat di-impeachment. Pertanyaannya, siapa yang akan melakukan impeachment jika para wakil rakyat telah tersandera dalam persekongkolan tersebut?" ujarnya.
Jawabannya, menurut Prof. Suteki ialah kembali ke UUD 1945, yang berdaulat adalah rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para pelaku makar konstitusi tersebut.
"Jalan satu-satunya ya pengadilan rakyat, revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi," tandasnya.[] Puspita Satyawati
0 Comments